Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
OPINI | 15 Februari 2013 | 07:22
Dibaca: 2687
Komentar: 0
Nihil

Linkers,
pengertian-pengertian yang terkandung dalam konsep kedilan ini sudah
tentu memiliki implikasi terhadap aktifitas manusia. Tuhan memerintahkan
pada kita untuk berbuat adil pada semua manusia dan tidak boleh
membeda-bedakan. Tulisan ini inspirasi dan panduan moralistiknya dari
beberapa ajaran cak Nur, sekedar ingin be-romantisme juga mengkorelasi
terhadap realita yang tengah terjadi secara makro Indonesia dan Bandung
secara mikro, poinnya adalah kita sedang menghadapi sinegitas antara
minimnya fenomena keadilan dan merebaknya kemiskinan, tanpa bermaksud
menghakimi, selamat menyimak.
Keadilan diartikan sebagai suatu paham kesamaan antar manusia, dalam
konteks ini dimengerti bahwa tidak ada perbedaan antara manusia atas
alasan apapun. Diskriminasi adalah suatu hal yang abnormal. Abnormal
karena kelainan itu bertentangan dengan jati diri primordial manusia.
Dalam pandangan Islam keberadaan individu dan masyarakat adalah sama
pentingnya. Sebagai individu, manusia memiliki kemerdekaan yang penuh.
Namun ketika ia berada di lingkup masyarakat, maka kebebasan pada
dirinya menjadi terbatas. Oleh karena itu, setiap individu tidak boleh
menggunakan kemerdekaannya itu untuk kepentingan pribadi dengan
mengabaikan kepentingan masyarakat. Jika hal tersebut terjadi maka yang
terjadi adalah konflik antar kepentingan. Sebaliknya bila melulu
kepentingan masyarakat yang diutamakan maka akibatnya potensi individu
menjadi sulit untuk dikembangkan.
Melihat hal semacam ini maka diperlukan sebuah aturan bersama (common
rules) yang berfungsi menjamin kepentingan-kepentingan indivudu dapat
dicapai tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat. Wilayah inilah
yang kemudian disebut sebuah perspektif tentang keadilan. Keadilan dalam
hubungannya dengan status dan lingkup sosial adalah bahwa Islam
memberikan panduan moralistik agar manusia dapat hidup berdampingan
secara damai dan bersahabat dengan manusia lain meskipun berbeda suku,
agama dan ras. Sedangkan konsep keadailan ekonomi adalah bahwa Islam
sangat menekankan egaliterianisme (persamaan hak) dan menghindari segala
bentuk kepincangan sosial yang dimulai dari kepincangan ekonomi. Dengan
demikian, konsep-konsep keadilan sosial dan keadilan ekonomi dalam
perspektif Islam adalah disandarkan pada ajaran bersaudara.
Selanjutnya mengenai keadilan ekonomi adalah aturan main (rules of the
game) tentang hubungan ekonomi yang dilandaskan pada kaidah-kaidah
etika, prinsip-prinsip yang mana pada gilirannya bersumber pada hukum
Tuhan atau pada sifat-sifat dasar manusia. Dari uraian ini, agaknya
masalah keadilan ekonomi sangat berkaitan erat dengan penegakan etika.
Etika adalah pondasi awal untuk membangun keadilan, tanpanya bangunan
keadilan yang coba didirikan akan lemah dan sangat subyektif untuk
membaca konteks zaman. Mencipta keadilan ekonomi pada dasarnya adalah
sebuah konsekuensi logis dari konsep bersaudara dalam Islam. Keadilan
ekonomi akan dapat memberikan jalan bagi tiap manusia untuk mendapatkan
haknya, dan menjamin akan kebebasannya dari unsur eksploitasi.
Pada hal inilah perbedaan keadilan sosial dengan keadilan ekonomi
digariskan. Keadilan sosial akan sangat berkaitan dengan keadilan
distribusi dan pembagian hak, sedangkan keadilan ekonomi adalah
pemberian kesempatan pada setiap orang untuk melakukan proses produksi.
Berkaitan dengan hal ini, dalam konteks hubungan majikan dan buruh
sering kali mengalami transmutasi secara prinsip. Karena umumnya buruh
berada dalam posisi yang lemah, sedangkan majikan berada di posisi yang
kuat. Konsep keadilan Islam dalam hal distribusi dan konsep tentang
keadilan ekonomi sesungguhnya menghendaki bahwa setiap manusia
mendapatkan imbalan berdasarkan apa yang dikerjakannya, dengan kata lain
bagaimana seseorang mendapatkan apa yang menjadi haknya dengan terlebih
dahulu memenuhi kewajiban yang menyertainya.
Mencipta struktur sosial yang adil ini memang menjadi tugas kita semua,
namun menjadi tugas pemerintah yang paling utama. Ada hal menarik
seputar masalah keadilan ekonomi. Pada saat ini kesadaran terhadap
aspek-aspek keadilan ekonomi hampir dikatakan minimal karena stigma yang
beredar di masyarakat adalah aspek ekonomi pasif semata. Pemerataan
pembangunan hanya terbatas pada aspek teknis bagaimana menutupi luka
tanpa mau tahu akar permasalahan penyebab luka. Sifatnya seperti pemadam
kebakaran, reaktif tapi kurang mendayagunakan precoutinary principle
(prinsip kehati-hatian), melalui tindakan preventif. Maka tak ayal lagi,
kemiskinan akan mudah merebak.
Sedikitnya terdapat 4 (empat) pendapat tentang kemiskinan di Indonesia.
Pertama, mereka yang modernis berpendapat bahwa kemiskinan terjadi
karena salah si miskin. Solusinya harus dilakukan pendidikan, diberikan
pelatihan-pelatihan terhadapnya. Kedua, mereka yang tradisionalis
berpendapat bahwa kemiskinan terjadi karena takdir. Solusinya banyak
beribadah, berdo’a. Ketiga, mereka yang revivalis berpendapat bahwa
kemiskinan terjadi karena manusia lari dari kitabnya, berbuat tidak
sesuai dengan apa yang digariskan kitab sucinya. Solusinya kembali pada
kitab, mengkaji kitab, melakukan studi terhadap kitabnya itu. Keempat,
mereka yang strukturalis berpendapat bahwa kemiskinan terjadi bukan
karena takdir, bukan pula salah si miskin, bukan karena manusia lari
dari kitabnya. Melainkan miskin terjadi karena struktur kekuasaan.
Solusinya, harus diciptakan struktur yang sedemikian rupa agar mencipta
struktur sosial yang berkeadilan.
Sehingga pada wilayah ini, merubah struktur yang tidak adil ini adalah
hal yang krusial yang segera harus dilakukan. Ketidakadilan ini dapat
berwujud dalam bentuk penyiapan undang-undang yang berpihak pada kaum
mustadz’afin, menutup segala peluang untuk melakukan KKN dan lebih
memberikan porsi yang sama kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif
dalam segala aktivitas ekonomi. Karena gagasan negara sejahtera hanya
akan terwujud jika pemerintah dan rakyat dapat bekerja sama secara
harmonis. Pada satu sisi negara berperan menyediakan perangkat peraturan
yang memihak rakyat kecil, dengan metodologi penggunaan
instrumen-instrumen dan kebijakan-kebijakan yang dapat melindungi rakyat
dan disisi lain rakyat harus dituntut untuk memanfaatkanya secara
optimal.