Minggu, 02 Juni 2013
Sabtu, 01 Juni 2013
ABRI, SERIGALA BERBULU DOMBA BERHATI SADIS.
Seluruh Pelosok Bumi Papua Melanesia selalu melayang nyawa orang tak berdosa dan polos di bawah alun-alun kekejaman Indonesia
di Papua. Selama Indonesia
menjajah di Papua srigala berhati Domaba
menarget kan Papua Harus di Punah habis dari ujung senjatanya militer Indonesia maupun berbagai cara , secara tidak kemanusiawi terhadap
Bangsa Melanesia Papua yang
intinya untuk memiliki kekayaan dan tanah Papua.
Perhitungan antar waktu penderitaan rakyat Papua di tanahnya
sendiri , di perkirakan sudah cukup lama
50 Tahun silam, Namun Indonesia tidak sadari bahwa kekejaman mengacaukan kondisi kehidupan
Bangsa lain Maka Indonesia Bisa sebut sebgai
Negara Buta Hukum dan Buta Hak
Asasi Manusia (HAM) ,Oleh sebab itu kekejaman
brutar yang di lakukan oleh Indonesia terhadap Papua yaitu:
CRITERIA PEMBUNUH INDONESIA DI PAPUA
CRITERIA PEMBUNUH INDONESIA DI PAPUA
1. MILITERISME adalah Modal awal Pembunuhan Indonesia di tanah Papua yang berujung pada mulut senjat
secara kolonialisme Indonesia yang mereka menargetkan Orang asli Papua
segerah di Punah habis dari tanahnya sendiri yaitu melalui kelompok Militerisme
di antaranya TNI,POLRI,BIN,BAIS
,KOPASUS, dan DENSUS 88 ,maka kelompok
pembunuhan Indonesia terhadap orang asli Papua
ini, telah di lahir sejak Tahun 1963
sampai sekarang 2013,sehingga melalui anggota
pembantai tersebut ini telah
menewaskan ribuan orang asli Papua
yang tak bedosa dan polos tanpa bukti yang sebenarnya .
Catatan. Biar Indonesia di Bunuh Orang papua ,,Perjuangan Ideologi
Kemerdekaan Bngsa Papua semakin jaya ke
peringakat dunia Internasional.
2. AGEN/MATA-MATA - suatu cara kedua yang Indonesia menanamkan niat untuk membunuh orang asli
Papua Melalui Orang Papua dan ber KTP Papua sehingga Indonesia menawarkan terhadap Orang Orang Papua yang akan menjadi
Agen atau Mata-mata di anggotakan
Pembunuh adalah melalui Penanaman Saham
/ usaha di Indonesia maupun di luar Indonesia
atau di bayar dengan uang Puluhan Juta
untuk Membunh orang Papua dan Pejuang
sejatih Papua Merdeka… ,,,,Oleh sebab itu
Orang Papua dan Pejuang sejatih Papua pintar-pintar Menilai Gerak-gerik
dalam keluarga kita sendiri.
Catatan: Tidak lama lagi
Pasti Papua akan Merdeka ,,Sayang
nya adalah AGEN-AGEN karena ya dan tidak nya kelompok orang ini
Pasti akan di adili oleh Indonesia dan terakhirnya akan di bunuh oleh Indonesia
Selamat jalan Sodara.
3. ORANG PAPUA BERHATI INDONESIA
cara ketiga , Indonesia menanamkan
modal pembunuhan terhadap warga Melanesia Papua melaui kelompok orang asli Papua dan luar Papua yang ber KTP
Papua dalam hal niat untuk
memusnahkan orang asli Papua secara tidak langsung sehingga mereka selalu memperluaskan semua informasih Rahasia Papua Merdeka bahkan
mereka selalu mencari tahu
keberadaan orang Papua dan Pejuang
sejatih Papua Medeka ,,sehingga kepada warga Papua perlu menilai gerak-gerik
kita orang Papua karena Orang berhati Indonesia sudah mulai
berkobar bersama dengan
Pengobaran isu Papua Medeka di luar maupun dalam ,maka Indonesia sedang membayar dengan Puluhan Juta
menjadi anjing piaraan Indonesia.
Catatan: Tidak lama lagi Pasti Papua akan Merdeka ,,Sayang nya
adalah ORANG PAPUA BERHATI INDONESIA
karena ya dan tidak nya kelompok orang ini Pasti akan
di adili oleh Indonesia dan
terakhirnya akan di bunuh oleh Indonesia Selamat jalan Sodara.
4. PENGUSAHA PEMBUNUH cara ke
empat Indonesia sedang menanamkan suatu
modal usaha besar maupun kecil guna untuk melemahkan atau guna membunuh untuk membunuh bangsa Papua
yang sedang dalam Perjuangan
kebebasan nasib sendiri , usha-usaha yang Indonesia di Papua adalah
berujung pada menewaskan nyawa orang Papua dan kekayaan Papua yaitu PT,CV
dan TOKOH atau KIOS atau usaha lainnya, maka kenyataan adalah
PT.Freeport mengorbankan ratusan
jiwa orang Papua
Korban,Menghancurkan Alam Papua secara brutar dan dengan adanya PT.
Freeport mengkonsumsikan berbagai
minuman keras sehingga banyak yang Mati. CV
dan PT yang ada di papua setiap kabupaten hanya menundang konflik antara Masyarakat Papua dengan Papua maupun
Orang illegal Indonesia sehingga ribuan jiwa Orang Papua Korban bahkan CV dan
PT di setiap Kabupaten Papua Menghancurkan alam dan kekayaan milik warga
Papua tanpa minta izin. Contohnya Kelapa sawit dis eluruh Pantai Papua di ablik itu tanah jadi tandus dan
gara-gara dan belum bayarnya gaji kepada
kaaryawan pernah terjadi masalah pengusaha
dengan karyawan. Toko atau kios-kios yang ada Papua , Indonesia
sedang di pusatkan sebagai tempat
Peredan Miras dan Peredaran Obat-Obatan
untuk memusnahkan Orang Papua
maka Ribuan orang asli Papua sudah Punah Habis. Pemusnahan orang Papua melalui
usaha lain terhadap adalah berjualan kaki lima ,penjualan bakso dan
warung-warung maka ribuan nyawa orang Papua melayang.
Catatan. Jika orang Indonesia ada
yang di tawar untuk mau buka Orang Papua hati-hati mengizinkannya karena sebaliknya
adalah Nyawa anda sendiri.
5. PEMBUNUH PEMERINTAHAN cara ke lima, Dibawah
naungan Pemerintahan kolonialisme Indonesia
di tanah Papua begitu banyak tragedy di setiap pelosok tanah Papua untuk
merebut kekuasaan orang asli Papua maupun orang illegal Indonesia di Papua ,maka
selalu saja terjadi konflik antara warga dengan warga bahkan pejabat dengan
pejabat atau kandidat dengan kandidat ,
oleh sebab itu ini adalah satu strategis
Indonesia terhadap orang Papua untuk mengacaukan
dan memusnahkan Bangsa Papua .
Catatan. Indonesia selalu saja
mencari cela untuk mengacaukan dalam pemerintahan colonial Indonesia dia Papua
,yang penting Indonesia mereka punya target
satu atau dua orang korban.
6. HIV/AIDS cara
ke enam, Indonesia telah menyebar luas
berbagai penykit di
mematikan di Papua sehingga ribuan orang Papua telah tewas
dengan Penyakit HIV/AIDS ,Indonesia
selalu di kirim Perempuan-Perempuan yang sudah kena Penyakit maka samapi Papua mereka Buka Bar dan tempat
Karaoke yang bermaksud sex sehingga Jiwa orang Papua selalu saja korban
Catatan. Setia Pada Pasangan Anda sendiri karena Orang Papua Menuju ujung
Kepunahan.
Penderitaan kehidupan Bangsa Papua di bawah colonial Indonesia menunjukan pelanggaran HAM terbesar di Dunia
dan criteria pembunuhan seprti di atas ini mengacaukan kenyamanan kehidupan
Bangsa Papua maupun di Dunia internasioanl. Dengan berbagai cara membunuh
manusia Papua sehingga Kami sangat tidak cocok hidup dengan orang di Papua maka
Kami Bangsa Papua Tuntut menentukan Nasib hidup sendiri,Kami kutuk Indonesia
segerah Kosongkan dari Bumi Papua.Papua untuk saya dan milik saya Orang Papua
rambut kriting Berkulit hitam Oran g Melanesia Papua. Indonesia Hidup di Papua
illegal segara angakt kaki tangan Lipat
tikar dari Bumi Anda Bukan orang Papua yang sebenarnya anda adalah Pembunuh
Manusia Papua.
‘’’’’IDEOLOGI, PAPUA MERDEKA,
HARGA MATI ‘’’’
By: Yance Iyai
By: Yance Iyai
Jumat, 31 Mei 2013
Freedom Flotilla to WEST PAPUA ( Papua Barat Kebebasan armada - Land and Sea Convoy untuk Perdamaian dan Keadilan )
Danau Eyre ke Papua Barat
Land and Sea Convoy untuk Perdamaian dan Keadilan
Kami membutuhkan bantuan Anda untuk melakukan perjalanan bersejarah ini mungkin!
Bantu kami membeli perahu yang akan memimpin armada pada misi perdamaian ..
Melihat cara-cara kuno untuk menemukan awal yang baru ...
Ribuan orang Papua Barat telah mengungsi, diculik, disiksa dan dibunuh oleh tentara Indonesia sejak tahun 1963, ketika Indonesia mengambil alih negara. Al Jazeera melaporkan pada 2012 bahwa sebanyak 500.000 orang Papua Barat telah tewas dalam konflik itu sejauh ini.
Namun nasib orang Papua Barat tetap tersembunyi dari pandangan Australia yang tersembunyi oleh kehadiran militer besar-besaran, dekat-larangan total pada wartawan asing dan LSM, kepentingan perusahaan pertambangan dan ketidakpedulian politik.
Waktunya telah tiba untuk mengambil tindakan internasional. Bantu kami meningkatkan kesadaran tentang pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan di Papua Barat. Mendukung Freedom Flotilla untuk membantu memecah keheningan dan mengambil sikap untuk hak-hak adat.
'' Kami adalah salah satu orang, kita masih satu orang, kita harus menjunjung tinggi hubungan budaya kita, tanah tua memanggil kita.'' Paman Kevin Buzzacott Arabuna tua.
Danau Eyre ke Papua Barat Land and Sea Convoy adalah suatu perjalanan yang berharap untuk menyambung kembali budaya dan orang-orang dari tanah yang pernah bergabung.
Memanggil pada teman-teman dan keluarga semua bangsa untuk bergabung dengan kami di tepi Danau Eyre untuk upacara dan festival musik untuk merayakan kelangsungan hidup dari tanah lama. Berdiri kuat, membuat aksi perlawanan kreatif terhadap apartheid kolonisasi dan kerusakan yang disebabkan oleh perusahaan tambang multinasional di tanah adat di Australia dan Papua Barat.
Dari tepi danau kita akan mengikuti air bawah tanah di seluruh Australia dalam perjalanan kebebasan dari Danau Eyre ke Papua Barat.
Kami akan membawa air kuno yang dikumpulkan dari mata air gundukan suci Arabunna negara. Ini menawarkan perdamaian akan diambil pada armada ke Papua Barat dalam solidaritas untuk kebebasan rakyat Papua Barat.
Kami berlayar sebagai ungkapan damai tanpa kekerasan, aksi langsung, untuk menyoroti lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pendudukan ilegal Indonesia atas Papua Barat.
Kami mengakui hak-hak masyarakat adat dan hubungan mereka dengan tanah dan air dan mengakui Kedaulatan Aborigin dan Barat Kemerdekaan Papua.
Hak asasi manusia dan keadilan lingkungan adalah perjuangan yang dimiliki semua umat manusia, Itulah kita!
Dengan pengetahuan bahwa kita harus melanjutkan dengan kekuatan, dedikasi dan musik yang baik.
Kami menghargai dukungan yang Anda dapat menawarkan untuk membuat perjalanan ini sejarah mungkin.
Semua dana yang terkumpul melalui Pozible akan pergi menuju kapal, logistik seperti makanan, transportasi, komunikasi, promosi / media dan dukungan hukum dan peralatan keselamatan.
Bagaimana Anda bisa terlibat:
DATANG!
Donasi BOAT a!
Tuan rumah sebuah acara di kota Anda atau port di sepanjang jalan!
Menyumbangkan waktu, tenaga, peralatan dan / atau uang xx
Sebarkan ...
Rencana perjalanan
1 Juni paspor Aborigin mengeluarkan dan Papua Barat visa perangko - 186 Gertrude st Fitzroy Melbourne
20-25 Juli Danau Eyre-Base Camp Alberrie Creek Station SA
28-30th Brisbane
10th-16th peluncuran Agustus-Cairns untuk Flotilla ke Papua Barat
Check out situs web untuk info lebih lanjut tentang proyek
http://freedomflotillawestpapua.org/
atau pergi ke http://lizardsrevenge.net atau hubungi unitedstruggle@live.com
Link ke Greens Pengesahan video yang http://www.youtube.com/watch?v=AzCAOLo8CXA
Bagian belakang bulat untuk cerita ini dimulai bertahun-tahun lalu ketika Paman Kevin bertemu tetua dari Papua Barat di Kemah Kedutaan Aborigin di Canberra. Itu ada bahwa sambungan dibentuk pada kedua tingkat budaya dan dalam perjuangan umum untuk hak atas tanah, Paman Kev ingin membiarkan Rakyat Papua tahu bahwa kita mengakui ada hak kedaulatan dan bahwa perjuangan masyarakat adat dari kedua tanah yang saling berhubungan. Dia datang dengan ide untuk perjalanan budaya dari negaranya ke Papua Barat untuk menarik perhatian pada perjuangan ini.
Kampanye ini tidak hanya membahas hak-hak masyarakat adat, memiliki fokus lingkungan yang besar, dimulai dengan Olimpiade Bendungan senjata nuklir dan masalah air kemudian ke Port tambang Gratis di Papua Barat dengan kontaminasi tanah dan air. Mata-mata gundukan di sekitar wilayah Danau Eyre adalah situs suci bagi orang-orang Arabuna. Mata air gundukan telah dipengaruhi oleh operasi pertambangan di bendungan Olimpiade, itu adalah sambungan dari perairan kuno yang turun dalam cerita-cerita mimpi kali dari kedua tanah yang membawa orang bersama-sama lagi.
Kami berharap untuk membawa visi ke pertengahan berbuah tahun ini, telah terjadi banyak kepentingan dalam acara tersebut sejauh ini dan masih banyak untuk mengatur, Silakan berbagi visi dengan jaringan Anda.
Banyak cinta damai dan petualangan baik ... dipotong di luar sana.
By : Benny Gobay.
Land and Sea Convoy untuk Perdamaian dan Keadilan
Kami membutuhkan bantuan Anda untuk melakukan perjalanan bersejarah ini mungkin!
Bantu kami membeli perahu yang akan memimpin armada pada misi perdamaian ..
Melihat cara-cara kuno untuk menemukan awal yang baru ...
Ribuan orang Papua Barat telah mengungsi, diculik, disiksa dan dibunuh oleh tentara Indonesia sejak tahun 1963, ketika Indonesia mengambil alih negara. Al Jazeera melaporkan pada 2012 bahwa sebanyak 500.000 orang Papua Barat telah tewas dalam konflik itu sejauh ini.
Namun nasib orang Papua Barat tetap tersembunyi dari pandangan Australia yang tersembunyi oleh kehadiran militer besar-besaran, dekat-larangan total pada wartawan asing dan LSM, kepentingan perusahaan pertambangan dan ketidakpedulian politik.
Waktunya telah tiba untuk mengambil tindakan internasional. Bantu kami meningkatkan kesadaran tentang pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan di Papua Barat. Mendukung Freedom Flotilla untuk membantu memecah keheningan dan mengambil sikap untuk hak-hak adat.
'' Kami adalah salah satu orang, kita masih satu orang, kita harus menjunjung tinggi hubungan budaya kita, tanah tua memanggil kita.'' Paman Kevin Buzzacott Arabuna tua.
Danau Eyre ke Papua Barat Land and Sea Convoy adalah suatu perjalanan yang berharap untuk menyambung kembali budaya dan orang-orang dari tanah yang pernah bergabung.
Memanggil pada teman-teman dan keluarga semua bangsa untuk bergabung dengan kami di tepi Danau Eyre untuk upacara dan festival musik untuk merayakan kelangsungan hidup dari tanah lama. Berdiri kuat, membuat aksi perlawanan kreatif terhadap apartheid kolonisasi dan kerusakan yang disebabkan oleh perusahaan tambang multinasional di tanah adat di Australia dan Papua Barat.
Dari tepi danau kita akan mengikuti air bawah tanah di seluruh Australia dalam perjalanan kebebasan dari Danau Eyre ke Papua Barat.
Kami akan membawa air kuno yang dikumpulkan dari mata air gundukan suci Arabunna negara. Ini menawarkan perdamaian akan diambil pada armada ke Papua Barat dalam solidaritas untuk kebebasan rakyat Papua Barat.
Kami berlayar sebagai ungkapan damai tanpa kekerasan, aksi langsung, untuk menyoroti lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pendudukan ilegal Indonesia atas Papua Barat.
Kami mengakui hak-hak masyarakat adat dan hubungan mereka dengan tanah dan air dan mengakui Kedaulatan Aborigin dan Barat Kemerdekaan Papua.
Hak asasi manusia dan keadilan lingkungan adalah perjuangan yang dimiliki semua umat manusia, Itulah kita!
Dengan pengetahuan bahwa kita harus melanjutkan dengan kekuatan, dedikasi dan musik yang baik.
Kami menghargai dukungan yang Anda dapat menawarkan untuk membuat perjalanan ini sejarah mungkin.
Semua dana yang terkumpul melalui Pozible akan pergi menuju kapal, logistik seperti makanan, transportasi, komunikasi, promosi / media dan dukungan hukum dan peralatan keselamatan.
Bagaimana Anda bisa terlibat:
DATANG!
Donasi BOAT a!
Tuan rumah sebuah acara di kota Anda atau port di sepanjang jalan!
Menyumbangkan waktu, tenaga, peralatan dan / atau uang xx
Sebarkan ...
Rencana perjalanan
1 Juni paspor Aborigin mengeluarkan dan Papua Barat visa perangko - 186 Gertrude st Fitzroy Melbourne
20-25 Juli Danau Eyre-Base Camp Alberrie Creek Station SA
28-30th Brisbane
10th-16th peluncuran Agustus-Cairns untuk Flotilla ke Papua Barat
Check out situs web untuk info lebih lanjut tentang proyek
http://freedomflotillawestpapua.org/
atau pergi ke http://lizardsrevenge.net atau hubungi unitedstruggle@live.com
Link ke Greens Pengesahan video yang http://www.youtube.com/watch?v=AzCAOLo8CXA
Bagian belakang bulat untuk cerita ini dimulai bertahun-tahun lalu ketika Paman Kevin bertemu tetua dari Papua Barat di Kemah Kedutaan Aborigin di Canberra. Itu ada bahwa sambungan dibentuk pada kedua tingkat budaya dan dalam perjuangan umum untuk hak atas tanah, Paman Kev ingin membiarkan Rakyat Papua tahu bahwa kita mengakui ada hak kedaulatan dan bahwa perjuangan masyarakat adat dari kedua tanah yang saling berhubungan. Dia datang dengan ide untuk perjalanan budaya dari negaranya ke Papua Barat untuk menarik perhatian pada perjuangan ini.
Kampanye ini tidak hanya membahas hak-hak masyarakat adat, memiliki fokus lingkungan yang besar, dimulai dengan Olimpiade Bendungan senjata nuklir dan masalah air kemudian ke Port tambang Gratis di Papua Barat dengan kontaminasi tanah dan air. Mata-mata gundukan di sekitar wilayah Danau Eyre adalah situs suci bagi orang-orang Arabuna. Mata air gundukan telah dipengaruhi oleh operasi pertambangan di bendungan Olimpiade, itu adalah sambungan dari perairan kuno yang turun dalam cerita-cerita mimpi kali dari kedua tanah yang membawa orang bersama-sama lagi.
Kami berharap untuk membawa visi ke pertengahan berbuah tahun ini, telah terjadi banyak kepentingan dalam acara tersebut sejauh ini dan masih banyak untuk mengatur, Silakan berbagi visi dengan jaringan Anda.
Banyak cinta damai dan petualangan baik ... dipotong di luar sana.
By : Benny Gobay.
Kamis, 30 Mei 2013
Penentuan Pendapat Rakyat ( PEPERA ) 1969 DI PANIAI
PEPERA DI PANIAI
A. KAREL GOBAY DAN PEPERA
Pemerintah Hindia Belanda menjadi saksi terhadap kemerdekaan Negara Bangsa Papua Barat pada Tanggal 1 Desember Tahun... 1961, saat itu KAREL GOBAY bekerja sebagai SEHRIJVER di kantor HPB pemerintahan onderafdeling danau-danau wisel Ibukotanya berkedudukan di Enarotrali tepat dibibir Danau Wisel Meren ( Danau Paniai ).
Tahun 1963 Negara Papua Barat Kembali ke Pangkuan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada masa pemerintahan transisi itu KAREL GOBAY diangkat sebagai Kepala Pemerintahan Setempat ( KPS ) merangkap juga sebagai anggota DPRD-GR/ anggota NIEW GUNEA RAAD di Holandia ( Jayapura ) mewakili dari Wilayah Adat MEEPAGO.
Tahun 1965 KAREL GOBAY salah satu putra Pribumi pedalaman Papua yang mampu dan berkualitas dapat diangkat sebagai Wakil Residen Pegunungan Djayawidjaya Bagian Barat yang ibukotanya berkedudukan di Enarotali. Tahun 1969 Sementara KAREL GOBAY melaksanakan Tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan khusus Bupati dan Wakil Bupati putra pribumi Papua dari 9 ( sembilan ) Kabupaten yaitu kabupaten Jayapura, Biak, Jayawijaya,Yapen Waropen, Manokwari, Sorong, Fakfak, Merauke dan Paniai di panggil ke Holandia ( Jayapura )untuk melaksanakan pertemuan yang sifatnya khusus dan penuh rahasia oleh para tokoh pilitik dan pemerintahan asal Pemerintah Hindia Belanda dalam pertemuan tersebut mereka menyampaikan perkembangan kondisi politik di Papua Barat saat itu bahwa :
Salah satunya tentang penentuan nasib Bangsa Papua melalui PEPERA (satu orang satu suara) setelah 5 (lima) Tahun dikeluarkannya New York Agreement tanggal 15 Agustus Tahun 1963 oleh Pemerintah Belanda, Indonesia dan PBB (Amerika serikat ). Ternyata setelah lima tahun kemudian yaitu Tahun 1968 agenda tersebut tidak dilaksanakan. Tetapi saat itu yang berjalan adalah program Tritura ( Tiga Tuntutan Rakyat) dimana Presiden Soekarno memberi mandat Kepada kolonel Soeharto untuk melaksanakan amanat tersebut yang isinya antara lain :
1. Bubarkan Negara Boneka Buatan Belanda di Papua Barat;
2. Turunkan Harga-harga;
3. Mobilisasi Umum.
Selama lima tahun Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia melaksanakan upaya-upaya yang sangat tidak terpuji dimana diseluruh pelosok tanah Papua Barat saat itu terjadi Pembunuhan, Pemerkosaan, intimidasi, aniaya dll yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia ( TNI) intinya semuanya ini merupakan tujuan untuk mempertahankan Papua Barat kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah mereka mengikuti perkembangan dan kondisi politik saat itu menyeruhkan kepada para Bupati dan Wakil Bupati asal Pribumi Papua kesemuanya ini terjadi hanya karena ada muatan kepentingan ekonomi jangka panjang antara Indonesia dan Amerika serikat diatas Tanah ini. Setelah itu mereka berkata saudara-saudara adalah putra pribumi sebagai Bupati dan Wakil Bupati harus melihat jauh kedepan tentang nasib Bangsa Malanesia dan Negeri ini Saudara-saudara segera kembali ke Kabupaten masing-masing dan segera melakukan Aksi perang perlawanan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena PEPERA sudah gagal dilaksanakan dalam Tahun 1968 dan melalui aksi perang diseluruh pelosok Tanah Papua di balik itu ada jalan keluar bagi bangsa Papua Barat yaitu mendapat pengakuan kembali Kedaulatan Negara Papua Barat yang dikumandangkan pada tanggal 1 Desember 1961 itu.
B. PERANG TAHUN 1969 DI ENAROTALI
Sebagai tindak lanjut KAREL GOBAY seorang tokoh politik asal pedalaman Papua saat itu dari satu sisi sebagai wakil Bupati pejabat negara (NKRI), dan dari sisi lain KAREL GOBAY juga dijuluki sebagai Kepala Suku besar dipedalaman Papua Dia sangat sulit dan berat mengambil keputusan antara kedua pilihanapakah KAREL GOBAY amankan kebijakan Pemerintah Pusat untuk dukung program Tritura ataukah melakukan aksi Perang melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia demi mengembalikan kedaulatan Bangsa Papua yang merdeka pada Tanggal 1 Desember 1961, dari hati yang sangat dalam KAREL GOBAY memutuskan untuk menentang Ideologi Pancasila . Hal itu didukung pula dengan gagalnya pelaksanaan PEPERA Tahun 1968 dan juga merupakan tindakan untuk menggagalkan pelaksanaan PEPERA jika dilakukan dalam Tahun 1969 karena KAREL GOBAY seorang tokoh politik Ia memprediksi bahwa pelaksanaan PEPERA pasti penuh dengan rekayasa dan manipulasi belaka setelah mengikuti
perkembangan kondisi politik saat itu dan mengetahui maksud dan tujuan yang besar dari kedua negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Amerika Serikat dimana mereka mau merebut seluruh kekayaan dan menginjak-injak kedaulatan Bangsa Papua pada Tanggal 1 Desember 1961.
Pada Tanggal 25 April 1969 KAREL GOBAY di kampung Aikai Enarotali melihat tanda kemenangan dalam sebuah acara adat dengan menggunakan anak panah alat perang tradisional memanah seekor sapi dan lansung mati tempat binatang tersebut , disitu KAREL GOBAY menarik suatu kesimpulan bahwa pasti Ia akan menang dalam perang melawan Tentara Nasional Indonesia.
Tepat Tanggal 1 Mei 1969 pemimpin perang KAREL GOBAY langsung meninggalkan Jabatan sebagai Wakil Bupati Kabupaten Paniai dan mengambil alih komando perang dengan membagi peta perang dengan personil sebagai berikut :
1. Wilayah Mapia dibawah pimpinan Mapia Mote dengan titik/lokasi pertempuran di DEGEI DIMI;
2. Wilayah Kamu dibawah Pimpinan Garis Adii dengan titik/lokasi pertempuran di ODE DIMI;
3. Wilayah Tigi dibawah Pimpinan Senin Mote dengan titik/lokasi pertempuran IYA DIMI dan OKOMO TADI;
4. Wilayah Paniai Barat dibawah pimpinan Kores Pigai dengan titik/lokasi pertempuran di OGIYAI DIMI;
5. Wilayah Paniai dibawah pimpinan KAREL GOBAY titik/lokasi Pertempuran Enarotali,Dagouto dan Bunauwo;
Tanggal 2 Mei 1969 mengumumkan kepada seluruh masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Paniai segera mencari tempat persembunyian karena Saya KAREL GOBAY melakukan perlawanan dengan TNI dari Negara Indonesia, serta atas perintah Pemimpin perang KAREL GOBAY anggota-anggotanya telah melakukan boikot semua fasilitas umum seperti gedung-gedung perkantoran dan lapangan terbang Enarotali saat itu pecalah perang antara TNI dan rakyat bangsa Papua yang berdomisi di wilayah Paniai selama 3 (tiaga) bulan yaitu bulan Mei sampai dengan bulan Juli 1969 dengan rincian korban jiwa disetiap wilayah pertempuran sebagai berikut :
1. Wilayah Mapia korban sebanyak Jiwa;
2. Wilayah Kamu korban sebanyak jiwa;
3. Wilayah Tigi korban sebanyak jiwa;
4. Wilayah Paniai Barat korban sebanyak jiwa;
5. Wilayah Enagotadi, Dagouto, dan Pasir Putih korban sebanyak jiwa
6. Jumlah korban secara keseluruhan sebanyak jiwa
C. PERANG TAHUN 1969 DI ENAROTALI BERAKHIR / KAREL GOBAY MENYERAHKAN DIRI KETANGAN PEMERINTAH INDONESIA.
Perang Tahun 1969 di Enarotali berlangsung kurang lebih selama 3 (tiga) bulan lebih yaitu mulai Tanggal 2 Mei sampai dengan bulan Juli Tahun 1969 dan dalam pertempuran di beberapa wilayah /titik pertempuran berjalan sangat sengit dan sana sini terdapat banyak korban jiwa berjatuhan baik pihak TNI dari NKRI maupun rakyat Bangsa Papua di Paniai termasuk harta benda mereka tetapi KAREL GOBAY selaku pemimpin perang tetap membara semangat juangnya. Dalam kondisi demikian tepat pada bulan Juli 1969 KAREL GOBAY mendapat sebuah surat yang dikirim oleh pemimpin agama saat itu dari Holandia ( Jayapura ) yaitu dari ketua CMA pdt. KATTO berbangsa America Serikat setelah membaca surat tersebut isinya meminta kepada KAREL GOBAY bertemu dengan Dia ki Kebo II. tanggal dan hari yang dijanjikan pemimpin agama tersebut berangkat dari bandara udara Sentani dengan menggunakan pesawat cessna milik MAF dan mendarat di bandar udara Kebo II dan KAREL GOBAY
dan pdt KATTO melakukan pertemuan singkat dan dalam pertemuan tidak lain pemimpin agama tersebut memaksa KAREL GOBAY â€Å“ Segera hentikan perang dan menyerahkan diri kepada pemerintah â€Å“ dengan beberapa pertimbangan yang disampaikan oleh pemimpin agama diantaranya :
1. Tuntutan Pengakuan Kedaulatan Bangsa Papua Barat merupakan masalah seluruh Bangsa Papua Barat mengapa Rakyat Paniai di bawah pimpinan KAREL GOBAY saja yang melakukan perlawanan melaui perang kepada NKRI;
KAREL GOBAY saat itu menjawab kami seluruh Bangsa Papua sebenarnya secara serempak melakukan perlawanan kepada NKRI tetapi saudara-saudara kita di 8 (delapan) kabupaten yang lain sementara kami tahu mereka ada dalam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TNI NKRI sehingga mereka tidak bisa buat apa-apa.
2. Banyak Masyarakat tidak berdosa korban didalam perang yang Saudara KAREL GOBAY pimpin, maka KAREL GOBAY siap tanggung jawab jiwa mereka dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa diakhirat nanti;
KAREL GOBAY pernah menjawab Tuhan tidak akan adili saya karena tindakan saya ini membela kebenaran.
3. Sebagai tanda suatu keputusan pemimpin agama yaitu ketua CMA saat itu meletakkan sebuah Alkitab dan selembar Bendera Bintang Kejora diatas meja pertemuan sekaligus mengajukan pertanyaan apakah KAREL GOBAY mau pegang Alkitab atau Bendera bintang Kejora .
KAREL GOBAY mengambil kedua benda tersebut dan menggenggam Alkitab ditangan kanan dan Bendera Bangsa Papua ditangan kiri dan secara tegas KAREL GOBAY menjawab Saya pegang kedua – duanya. Lalu pemimpin agama kembali memohon kepada KAREL GOBAY saat ini Saudara pegang Alkitab sedangkan untuk Bendera Bangsa Papua ini Saya Kibarkan sementara di tempat ini dan dikemudian hari akan dilanjutkan oleh anak cucu Saudara KAREL GOBAY. Kembali KAREL GOBAY menyeruhkan bahwa Saya menerima permintaan ini atas inisiatif saya sendiri, bukan sebagai suatu kesepakatan bersama antara saya dan rakyat Paniai yang saya pimpin, karena perjuangan ini masih panjang seperti yang dikatakan oleh Tuan Pdt. KATTO.
Hari itu juga Pemimpin Agama membawa KAREL GOBAY dengan mengenakan busana topi pepimpin perang adat, dan didampingi dua orang yang lain yaitu MANIS YOGI dan KUYAI BEDO ADII berangkat dari Kebo II dengan menggunakan pesawat terbang cessna milik MAF tujuan Holandia (Jayapura) untuk mempertanggung jawabkan kehadapan Pemerintah Indonesia melalui Panglima wilayah Maluku dan Irian Barat. setibanya di bandar udara Sentani KAREL GOBAY melalui pengawalan yang ketat di jemput oleh TNI, di cela – cela penjemputan KAREL GOBAY bertemu dengan salah seorang tokoh politik pemerintahan pemerintah Hindia Belanda saat itu Ia berkata â€Å“ Tuan GOBAY kamu sudah menang â€Å“ Cuma tidak didukung oleh saudara-saudara dari 8 (delapan ) Kabupaten yang lain sekarang KAREL GOBAY mau tidak mau suka tidak suka harus ungkapkan pernyataan ini yaitu Kamu Makan Saya Punya TAI â€Å“mulai dari Sentani sampai di Dok V Istana Kenegaraan sepanjang perjalanan, dan hal
itu dilakukan oleh KAREL GOBAY menurutnya ungkapan yang diucapkan mengandung makna yang besar.
Setelah sampai di hadapan Pemerintah yaitu Panglima Wilayah Maluku dan Irian Barat KAREL GOBAY mempertanggung jawabkan apa saja dilakukannya dan menurutnya Saya Pejabat Negara NKRI melawan Ideolgi Pancasila tidak lain hanya Saya mempertahankan Ideologi Bangsa Papua Barat. Keputusan Pemerintah Indonesia saat itu KAREL GOBAY kembali bekerja sebagai Wakil Bupati Kabupaten Paniai seperti biasanya.
D. PELAKSANAAN PEPERA TAHUN 1969 DI KABUPATEN PANIAI
Pelaksanaan PEPERA yang seharusnya sesuai amanat New York Agreement Tanggal 15 Desember 1963 dilakukan dalam Tahun 1968 dalam bulan Agustus juga ternyata terjadi penundahan waktu karena diseluruh pelosak Tanah Papua Barat saat itu terjadi berbagai upaya yang dilakukan oleh TNI yaitu pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, intimidasi, dan lain-lain merupakan tindak lanjut dari isi amanat TRITURA tiga Tuntutan Rakyat semuanya itu dilakukan hanya untuk mempertahankan dan merebut kedaulatan Bangsa Papua kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu Menurut KAREL GOBAY sangat terlihat dalam pelaksanaan PEPERA di Kabupaten Paniai Tahun 1969 seperti yang saya prediksikan satu orang satu suara tidak pernah terjadi, tetapi sistim perwakilan yaitu hanya dipilih 150 (seratus lima puluh) orang cara rekrut peserta juga sangat membabi buta, lalu Demokrasi tidak terlihat saat mereka menyatakan hak mereka malah yang terjadi dikarangtina, didikte, dibujuk
dengan harta benda, tidak membuka satu ruang untuk menentukan keinginan dan kemauan mereka Apa yang dikatakan forum saat itu â€Å“ Kami mau indonesia Meredeka Apera†secara dekat saya sebagai Wakil Bupati KAREL GOBAY melihat dengan mata kepala sendiri saya juga sayangkan waktu itu perwakilan dari PBB mengapa hadir sebagai wasit sudah lihat kesalahan tetapi tidak berani menyatakan itu salah. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PEPERA 1969 di Kabupaten Paniai dinilai catat hukum.
E. KONDISI PASCA PEPERA TAHUN 1969
Setelah dilaksanakan PEPERA tahun 1969 di Kabupaten Paniai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi berbagai dinamika politik sebagai dampak dari wilayah yang pernah menentang Ideologi Pancasila yang sifatnya negatif sebagai berikut :
1. MASYARAKAT KABUPATEN PANIAI TAHUN 1970-2000
Setelah Perang dan Pepera Tahun 1969 dilaksanakan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Kabupaten Paniai terjadi berbagai permasalahan seperti :
a. Masalah Kesehatan seperti menyebarnya sakit ayan karena Cacing pita baik manusia maupun Ternak Babi;
b. Mencanangkan Daerah Operasi Militer (DOM) teror dan intimidasi meraja lelah sampai ke daerah terpencil;
c. Pelanggaran HAM besar-besaran dilakukan Pembunuhan, pemerkosaan;
d. Dicap orang paniai manusia biadab, pemakan manusia, pencuri, bodoh, telanjang, dan lain-lain;
e. Susah mendapat kesempatan untuk belajar;
f. Susah untuk mendapat lapangan pekerjaan yang layak;
g. Atas semuanya itu masyarakat papua yang korban khusus seputar paniai 231 orang yg menjadi tentara indonesia
h. Dan lain-lain.
2. KARIER KAREL GOBAY
Karier KAREL GOBAY yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Paniai setelah Pasca PEPERA dilaksanakan sebagai berikut :
a. Tahun 1969 KAREL GOBAY dipilih dan diangkat menjadi Bupati Kabupaten Paniai Perode 1969 -1974 ( sebagai jabatan gula-gula politik Indonesia ) dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan di juluki sebagai aparatur putra pribumi yang dikagumi karena masa kepemimpinannya bembuka Isolasi dan menata Ibukota Kabupaten Paniai yang baru setelah dipindahkan dari Enarotali ke Nabire Mempunyai sejumlah jasa KAREL GOBAY kepada Negara kesatuan Republik Indonesia.
b. Tahun 1972 KAREL GOBAY membawa isterinya ke Jakarta untuk melakukan pemeriksaan Kesehatan karena sakit Bupati GOBAY berangkat pun atas ijin Gubernur Propinsi Irian Barat Drs. AGUB ZAINAL.
Sementara KAREL GOBAY berada di ibukota Negara ( Jakarta ) KAREL GOBAY diberhetikan dari Jabatan Bupati melalui surat kaleng yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia Jenderal SOEHARTO.
c. KAREL GOBAY sementara mencari dasar kuhum pemberhentian dari Jabatan dengan tidak hormat KAREL GOBAY diseret ke Penjara Pangkalan Angkatan Laut Biak di Samofa selama 22 bulan.
d. Setelah dikeluarkan dari penjara dan kembali ke Nabire untuk fonis di pengadilan Negeri Nabire sebagai wilayah hukum dari terdakwa tidak dilakukan malah didiamkan selanjutnya semua hak-hak sebagai Pegawai Negeri Sipil diberhentikan secara total.
e. Tahun 1992/1993 dimasa tua KAREL GOBAY kembali mengajukan permohonan Hak Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Sebagai mantan Pejabat Negara Ke Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia ( Tromol Pos 2000) saat itu Presiden SOEHARTO dan Wakil Presiden TRI SUTRISNO mengembalikan Berkas Persyaratannya dengan Catatan kedua Orang Nomor satu dan dua di Republik ini bahwa :
KAREL GOBAY TOKOH PEJUANG PAPUA MERDEKA YANG PERNAH MENETANG IDEOLOGI PANCASILA DAN UNDAND-UNDANG DASAR 1945 DALAM AGENDA NEGARA REPUBLIK INDONESIA NAMA KAREL GOBAY ADA DALAM DAFTAR HITAM SEHINGGA PERMOHONAN HAK PENSIUNAN SEBAGAI PEJABAT NEGARA DITOLAK f. Tanggal 1 Agustus 1995 KAREL GOBAY menghembuskan nafas terakhir pun ada indikasi pelanggaran HAM.
g. KAREL GOBAY SALAH SATU TOKOH PEDALAMAN PAPUA YANG MEMPERJUANGKAN RAKYATNYA UNTUK KELUAR DARI PERBUDAKAN DENGAN MENGORBANKAN SELURUH DAYA YANG DIMILIKI DENGAN REMPUH NAMUN ILUSIF.
3. OPM DAN PEMIMPINNYA DI PANIAI
Dalam rangka mempertahankan ideologi Bangsa Papua Barat OPM didirikan di Paniai pada tanggal . Sejak OPM dibentuk di Paniai terdapat beberapa tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk melanjutkan perjuangan untuk memperebutkan kembali kedaulatan Bangsa Papua Tanggal 1 Desember 1961 setelah KAREL GOBAY diantaranya adalah :
1. PIMPINAN OPM DIVISI 2 MAKODAM 4 KAB PANIAI Y JACKSON MABIPA GOBAY Mulai Pimpin 2009
2. LETKOL MARKUS GOBAY ( KABOUDA YAGA GOBAY ) Pemimpin OPM Tahun 1975 - 1979
3. JENDERAL TADIUS KIMEMA YOPARI YOGI
4. YANCE JACKSON MABIPA GOBAY Pemimpin OPM Divisi 2 makodam 4 kab paniai Tahun 2009 selanjutnya………………………………………………
Kita Harus Mengakhiri
Pemerintah Hindia Belanda menjadi saksi terhadap kemerdekaan Negara Bangsa Papua Barat pada Tanggal 1 Desember Tahun... 1961, saat itu KAREL GOBAY bekerja sebagai SEHRIJVER di kantor HPB pemerintahan onderafdeling danau-danau wisel Ibukotanya berkedudukan di Enarotrali tepat dibibir Danau Wisel Meren ( Danau Paniai ).
Tahun 1963 Negara Papua Barat Kembali ke Pangkuan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada masa pemerintahan transisi itu KAREL GOBAY diangkat sebagai Kepala Pemerintahan Setempat ( KPS ) merangkap juga sebagai anggota DPRD-GR/ anggota NIEW GUNEA RAAD di Holandia ( Jayapura ) mewakili dari Wilayah Adat MEEPAGO.
Tahun 1965 KAREL GOBAY salah satu putra Pribumi pedalaman Papua yang mampu dan berkualitas dapat diangkat sebagai Wakil Residen Pegunungan Djayawidjaya Bagian Barat yang ibukotanya berkedudukan di Enarotali. Tahun 1969 Sementara KAREL GOBAY melaksanakan Tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan khusus Bupati dan Wakil Bupati putra pribumi Papua dari 9 ( sembilan ) Kabupaten yaitu kabupaten Jayapura, Biak, Jayawijaya,Yapen Waropen, Manokwari, Sorong, Fakfak, Merauke dan Paniai di panggil ke Holandia ( Jayapura )untuk melaksanakan pertemuan yang sifatnya khusus dan penuh rahasia oleh para tokoh pilitik dan pemerintahan asal Pemerintah Hindia Belanda dalam pertemuan tersebut mereka menyampaikan perkembangan kondisi politik di Papua Barat saat itu bahwa :
Salah satunya tentang penentuan nasib Bangsa Papua melalui PEPERA (satu orang satu suara) setelah 5 (lima) Tahun dikeluarkannya New York Agreement tanggal 15 Agustus Tahun 1963 oleh Pemerintah Belanda, Indonesia dan PBB (Amerika serikat ). Ternyata setelah lima tahun kemudian yaitu Tahun 1968 agenda tersebut tidak dilaksanakan. Tetapi saat itu yang berjalan adalah program Tritura ( Tiga Tuntutan Rakyat) dimana Presiden Soekarno memberi mandat Kepada kolonel Soeharto untuk melaksanakan amanat tersebut yang isinya antara lain :
1. Bubarkan Negara Boneka Buatan Belanda di Papua Barat;
2. Turunkan Harga-harga;
3. Mobilisasi Umum.
Selama lima tahun Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia melaksanakan upaya-upaya yang sangat tidak terpuji dimana diseluruh pelosok tanah Papua Barat saat itu terjadi Pembunuhan, Pemerkosaan, intimidasi, aniaya dll yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia ( TNI) intinya semuanya ini merupakan tujuan untuk mempertahankan Papua Barat kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah mereka mengikuti perkembangan dan kondisi politik saat itu menyeruhkan kepada para Bupati dan Wakil Bupati asal Pribumi Papua kesemuanya ini terjadi hanya karena ada muatan kepentingan ekonomi jangka panjang antara Indonesia dan Amerika serikat diatas Tanah ini. Setelah itu mereka berkata saudara-saudara adalah putra pribumi sebagai Bupati dan Wakil Bupati harus melihat jauh kedepan tentang nasib Bangsa Malanesia dan Negeri ini Saudara-saudara segera kembali ke Kabupaten masing-masing dan segera melakukan Aksi perang perlawanan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena PEPERA sudah gagal dilaksanakan dalam Tahun 1968 dan melalui aksi perang diseluruh pelosok Tanah Papua di balik itu ada jalan keluar bagi bangsa Papua Barat yaitu mendapat pengakuan kembali Kedaulatan Negara Papua Barat yang dikumandangkan pada tanggal 1 Desember 1961 itu.
B. PERANG TAHUN 1969 DI ENAROTALI
Sebagai tindak lanjut KAREL GOBAY seorang tokoh politik asal pedalaman Papua saat itu dari satu sisi sebagai wakil Bupati pejabat negara (NKRI), dan dari sisi lain KAREL GOBAY juga dijuluki sebagai Kepala Suku besar dipedalaman Papua Dia sangat sulit dan berat mengambil keputusan antara kedua pilihanapakah KAREL GOBAY amankan kebijakan Pemerintah Pusat untuk dukung program Tritura ataukah melakukan aksi Perang melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia demi mengembalikan kedaulatan Bangsa Papua yang merdeka pada Tanggal 1 Desember 1961, dari hati yang sangat dalam KAREL GOBAY memutuskan untuk menentang Ideologi Pancasila . Hal itu didukung pula dengan gagalnya pelaksanaan PEPERA Tahun 1968 dan juga merupakan tindakan untuk menggagalkan pelaksanaan PEPERA jika dilakukan dalam Tahun 1969 karena KAREL GOBAY seorang tokoh politik Ia memprediksi bahwa pelaksanaan PEPERA pasti penuh dengan rekayasa dan manipulasi belaka setelah mengikuti
perkembangan kondisi politik saat itu dan mengetahui maksud dan tujuan yang besar dari kedua negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Amerika Serikat dimana mereka mau merebut seluruh kekayaan dan menginjak-injak kedaulatan Bangsa Papua pada Tanggal 1 Desember 1961.
Pada Tanggal 25 April 1969 KAREL GOBAY di kampung Aikai Enarotali melihat tanda kemenangan dalam sebuah acara adat dengan menggunakan anak panah alat perang tradisional memanah seekor sapi dan lansung mati tempat binatang tersebut , disitu KAREL GOBAY menarik suatu kesimpulan bahwa pasti Ia akan menang dalam perang melawan Tentara Nasional Indonesia.
Tepat Tanggal 1 Mei 1969 pemimpin perang KAREL GOBAY langsung meninggalkan Jabatan sebagai Wakil Bupati Kabupaten Paniai dan mengambil alih komando perang dengan membagi peta perang dengan personil sebagai berikut :
1. Wilayah Mapia dibawah pimpinan Mapia Mote dengan titik/lokasi pertempuran di DEGEI DIMI;
2. Wilayah Kamu dibawah Pimpinan Garis Adii dengan titik/lokasi pertempuran di ODE DIMI;
3. Wilayah Tigi dibawah Pimpinan Senin Mote dengan titik/lokasi pertempuran IYA DIMI dan OKOMO TADI;
4. Wilayah Paniai Barat dibawah pimpinan Kores Pigai dengan titik/lokasi pertempuran di OGIYAI DIMI;
5. Wilayah Paniai dibawah pimpinan KAREL GOBAY titik/lokasi Pertempuran Enarotali,Dagouto dan Bunauwo;
Tanggal 2 Mei 1969 mengumumkan kepada seluruh masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Paniai segera mencari tempat persembunyian karena Saya KAREL GOBAY melakukan perlawanan dengan TNI dari Negara Indonesia, serta atas perintah Pemimpin perang KAREL GOBAY anggota-anggotanya telah melakukan boikot semua fasilitas umum seperti gedung-gedung perkantoran dan lapangan terbang Enarotali saat itu pecalah perang antara TNI dan rakyat bangsa Papua yang berdomisi di wilayah Paniai selama 3 (tiaga) bulan yaitu bulan Mei sampai dengan bulan Juli 1969 dengan rincian korban jiwa disetiap wilayah pertempuran sebagai berikut :
1. Wilayah Mapia korban sebanyak Jiwa;
2. Wilayah Kamu korban sebanyak jiwa;
3. Wilayah Tigi korban sebanyak jiwa;
4. Wilayah Paniai Barat korban sebanyak jiwa;
5. Wilayah Enagotadi, Dagouto, dan Pasir Putih korban sebanyak jiwa
6. Jumlah korban secara keseluruhan sebanyak jiwa
C. PERANG TAHUN 1969 DI ENAROTALI BERAKHIR / KAREL GOBAY MENYERAHKAN DIRI KETANGAN PEMERINTAH INDONESIA.
Perang Tahun 1969 di Enarotali berlangsung kurang lebih selama 3 (tiga) bulan lebih yaitu mulai Tanggal 2 Mei sampai dengan bulan Juli Tahun 1969 dan dalam pertempuran di beberapa wilayah /titik pertempuran berjalan sangat sengit dan sana sini terdapat banyak korban jiwa berjatuhan baik pihak TNI dari NKRI maupun rakyat Bangsa Papua di Paniai termasuk harta benda mereka tetapi KAREL GOBAY selaku pemimpin perang tetap membara semangat juangnya. Dalam kondisi demikian tepat pada bulan Juli 1969 KAREL GOBAY mendapat sebuah surat yang dikirim oleh pemimpin agama saat itu dari Holandia ( Jayapura ) yaitu dari ketua CMA pdt. KATTO berbangsa America Serikat setelah membaca surat tersebut isinya meminta kepada KAREL GOBAY bertemu dengan Dia ki Kebo II. tanggal dan hari yang dijanjikan pemimpin agama tersebut berangkat dari bandara udara Sentani dengan menggunakan pesawat cessna milik MAF dan mendarat di bandar udara Kebo II dan KAREL GOBAY
dan pdt KATTO melakukan pertemuan singkat dan dalam pertemuan tidak lain pemimpin agama tersebut memaksa KAREL GOBAY â€Å“ Segera hentikan perang dan menyerahkan diri kepada pemerintah â€Å“ dengan beberapa pertimbangan yang disampaikan oleh pemimpin agama diantaranya :
1. Tuntutan Pengakuan Kedaulatan Bangsa Papua Barat merupakan masalah seluruh Bangsa Papua Barat mengapa Rakyat Paniai di bawah pimpinan KAREL GOBAY saja yang melakukan perlawanan melaui perang kepada NKRI;
KAREL GOBAY saat itu menjawab kami seluruh Bangsa Papua sebenarnya secara serempak melakukan perlawanan kepada NKRI tetapi saudara-saudara kita di 8 (delapan) kabupaten yang lain sementara kami tahu mereka ada dalam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TNI NKRI sehingga mereka tidak bisa buat apa-apa.
2. Banyak Masyarakat tidak berdosa korban didalam perang yang Saudara KAREL GOBAY pimpin, maka KAREL GOBAY siap tanggung jawab jiwa mereka dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa diakhirat nanti;
KAREL GOBAY pernah menjawab Tuhan tidak akan adili saya karena tindakan saya ini membela kebenaran.
3. Sebagai tanda suatu keputusan pemimpin agama yaitu ketua CMA saat itu meletakkan sebuah Alkitab dan selembar Bendera Bintang Kejora diatas meja pertemuan sekaligus mengajukan pertanyaan apakah KAREL GOBAY mau pegang Alkitab atau Bendera bintang Kejora .
KAREL GOBAY mengambil kedua benda tersebut dan menggenggam Alkitab ditangan kanan dan Bendera Bangsa Papua ditangan kiri dan secara tegas KAREL GOBAY menjawab Saya pegang kedua – duanya. Lalu pemimpin agama kembali memohon kepada KAREL GOBAY saat ini Saudara pegang Alkitab sedangkan untuk Bendera Bangsa Papua ini Saya Kibarkan sementara di tempat ini dan dikemudian hari akan dilanjutkan oleh anak cucu Saudara KAREL GOBAY. Kembali KAREL GOBAY menyeruhkan bahwa Saya menerima permintaan ini atas inisiatif saya sendiri, bukan sebagai suatu kesepakatan bersama antara saya dan rakyat Paniai yang saya pimpin, karena perjuangan ini masih panjang seperti yang dikatakan oleh Tuan Pdt. KATTO.
Hari itu juga Pemimpin Agama membawa KAREL GOBAY dengan mengenakan busana topi pepimpin perang adat, dan didampingi dua orang yang lain yaitu MANIS YOGI dan KUYAI BEDO ADII berangkat dari Kebo II dengan menggunakan pesawat terbang cessna milik MAF tujuan Holandia (Jayapura) untuk mempertanggung jawabkan kehadapan Pemerintah Indonesia melalui Panglima wilayah Maluku dan Irian Barat. setibanya di bandar udara Sentani KAREL GOBAY melalui pengawalan yang ketat di jemput oleh TNI, di cela – cela penjemputan KAREL GOBAY bertemu dengan salah seorang tokoh politik pemerintahan pemerintah Hindia Belanda saat itu Ia berkata â€Å“ Tuan GOBAY kamu sudah menang â€Å“ Cuma tidak didukung oleh saudara-saudara dari 8 (delapan ) Kabupaten yang lain sekarang KAREL GOBAY mau tidak mau suka tidak suka harus ungkapkan pernyataan ini yaitu Kamu Makan Saya Punya TAI â€Å“mulai dari Sentani sampai di Dok V Istana Kenegaraan sepanjang perjalanan, dan hal
itu dilakukan oleh KAREL GOBAY menurutnya ungkapan yang diucapkan mengandung makna yang besar.
Setelah sampai di hadapan Pemerintah yaitu Panglima Wilayah Maluku dan Irian Barat KAREL GOBAY mempertanggung jawabkan apa saja dilakukannya dan menurutnya Saya Pejabat Negara NKRI melawan Ideolgi Pancasila tidak lain hanya Saya mempertahankan Ideologi Bangsa Papua Barat. Keputusan Pemerintah Indonesia saat itu KAREL GOBAY kembali bekerja sebagai Wakil Bupati Kabupaten Paniai seperti biasanya.
D. PELAKSANAAN PEPERA TAHUN 1969 DI KABUPATEN PANIAI
Pelaksanaan PEPERA yang seharusnya sesuai amanat New York Agreement Tanggal 15 Desember 1963 dilakukan dalam Tahun 1968 dalam bulan Agustus juga ternyata terjadi penundahan waktu karena diseluruh pelosak Tanah Papua Barat saat itu terjadi berbagai upaya yang dilakukan oleh TNI yaitu pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, intimidasi, dan lain-lain merupakan tindak lanjut dari isi amanat TRITURA tiga Tuntutan Rakyat semuanya itu dilakukan hanya untuk mempertahankan dan merebut kedaulatan Bangsa Papua kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu Menurut KAREL GOBAY sangat terlihat dalam pelaksanaan PEPERA di Kabupaten Paniai Tahun 1969 seperti yang saya prediksikan satu orang satu suara tidak pernah terjadi, tetapi sistim perwakilan yaitu hanya dipilih 150 (seratus lima puluh) orang cara rekrut peserta juga sangat membabi buta, lalu Demokrasi tidak terlihat saat mereka menyatakan hak mereka malah yang terjadi dikarangtina, didikte, dibujuk
dengan harta benda, tidak membuka satu ruang untuk menentukan keinginan dan kemauan mereka Apa yang dikatakan forum saat itu â€Å“ Kami mau indonesia Meredeka Apera†secara dekat saya sebagai Wakil Bupati KAREL GOBAY melihat dengan mata kepala sendiri saya juga sayangkan waktu itu perwakilan dari PBB mengapa hadir sebagai wasit sudah lihat kesalahan tetapi tidak berani menyatakan itu salah. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PEPERA 1969 di Kabupaten Paniai dinilai catat hukum.
E. KONDISI PASCA PEPERA TAHUN 1969
Setelah dilaksanakan PEPERA tahun 1969 di Kabupaten Paniai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi berbagai dinamika politik sebagai dampak dari wilayah yang pernah menentang Ideologi Pancasila yang sifatnya negatif sebagai berikut :
1. MASYARAKAT KABUPATEN PANIAI TAHUN 1970-2000
Setelah Perang dan Pepera Tahun 1969 dilaksanakan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Kabupaten Paniai terjadi berbagai permasalahan seperti :
a. Masalah Kesehatan seperti menyebarnya sakit ayan karena Cacing pita baik manusia maupun Ternak Babi;
b. Mencanangkan Daerah Operasi Militer (DOM) teror dan intimidasi meraja lelah sampai ke daerah terpencil;
c. Pelanggaran HAM besar-besaran dilakukan Pembunuhan, pemerkosaan;
d. Dicap orang paniai manusia biadab, pemakan manusia, pencuri, bodoh, telanjang, dan lain-lain;
e. Susah mendapat kesempatan untuk belajar;
f. Susah untuk mendapat lapangan pekerjaan yang layak;
g. Atas semuanya itu masyarakat papua yang korban khusus seputar paniai 231 orang yg menjadi tentara indonesia
h. Dan lain-lain.
2. KARIER KAREL GOBAY
Karier KAREL GOBAY yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Paniai setelah Pasca PEPERA dilaksanakan sebagai berikut :
a. Tahun 1969 KAREL GOBAY dipilih dan diangkat menjadi Bupati Kabupaten Paniai Perode 1969 -1974 ( sebagai jabatan gula-gula politik Indonesia ) dalam melaksanakan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan di juluki sebagai aparatur putra pribumi yang dikagumi karena masa kepemimpinannya bembuka Isolasi dan menata Ibukota Kabupaten Paniai yang baru setelah dipindahkan dari Enarotali ke Nabire Mempunyai sejumlah jasa KAREL GOBAY kepada Negara kesatuan Republik Indonesia.
b. Tahun 1972 KAREL GOBAY membawa isterinya ke Jakarta untuk melakukan pemeriksaan Kesehatan karena sakit Bupati GOBAY berangkat pun atas ijin Gubernur Propinsi Irian Barat Drs. AGUB ZAINAL.
Sementara KAREL GOBAY berada di ibukota Negara ( Jakarta ) KAREL GOBAY diberhetikan dari Jabatan Bupati melalui surat kaleng yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia Jenderal SOEHARTO.
c. KAREL GOBAY sementara mencari dasar kuhum pemberhentian dari Jabatan dengan tidak hormat KAREL GOBAY diseret ke Penjara Pangkalan Angkatan Laut Biak di Samofa selama 22 bulan.
d. Setelah dikeluarkan dari penjara dan kembali ke Nabire untuk fonis di pengadilan Negeri Nabire sebagai wilayah hukum dari terdakwa tidak dilakukan malah didiamkan selanjutnya semua hak-hak sebagai Pegawai Negeri Sipil diberhentikan secara total.
e. Tahun 1992/1993 dimasa tua KAREL GOBAY kembali mengajukan permohonan Hak Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Sebagai mantan Pejabat Negara Ke Kantor Wakil Presiden Republik Indonesia ( Tromol Pos 2000) saat itu Presiden SOEHARTO dan Wakil Presiden TRI SUTRISNO mengembalikan Berkas Persyaratannya dengan Catatan kedua Orang Nomor satu dan dua di Republik ini bahwa :
KAREL GOBAY TOKOH PEJUANG PAPUA MERDEKA YANG PERNAH MENETANG IDEOLOGI PANCASILA DAN UNDAND-UNDANG DASAR 1945 DALAM AGENDA NEGARA REPUBLIK INDONESIA NAMA KAREL GOBAY ADA DALAM DAFTAR HITAM SEHINGGA PERMOHONAN HAK PENSIUNAN SEBAGAI PEJABAT NEGARA DITOLAK f. Tanggal 1 Agustus 1995 KAREL GOBAY menghembuskan nafas terakhir pun ada indikasi pelanggaran HAM.
g. KAREL GOBAY SALAH SATU TOKOH PEDALAMAN PAPUA YANG MEMPERJUANGKAN RAKYATNYA UNTUK KELUAR DARI PERBUDAKAN DENGAN MENGORBANKAN SELURUH DAYA YANG DIMILIKI DENGAN REMPUH NAMUN ILUSIF.
3. OPM DAN PEMIMPINNYA DI PANIAI
Dalam rangka mempertahankan ideologi Bangsa Papua Barat OPM didirikan di Paniai pada tanggal . Sejak OPM dibentuk di Paniai terdapat beberapa tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk melanjutkan perjuangan untuk memperebutkan kembali kedaulatan Bangsa Papua Tanggal 1 Desember 1961 setelah KAREL GOBAY diantaranya adalah :
1. PIMPINAN OPM DIVISI 2 MAKODAM 4 KAB PANIAI Y JACKSON MABIPA GOBAY Mulai Pimpin 2009
2. LETKOL MARKUS GOBAY ( KABOUDA YAGA GOBAY ) Pemimpin OPM Tahun 1975 - 1979
3. JENDERAL TADIUS KIMEMA YOPARI YOGI
4. YANCE JACKSON MABIPA GOBAY Pemimpin OPM Divisi 2 makodam 4 kab paniai Tahun 2009 selanjutnya………………………………………………
Kita Harus Mengakhiri
By: Benny Gobay
Rabu, 24 April 2013
01 MEI SEJARAH ANEKSASI PAKSA BANGSA PAPUA MASUK NKRI
1 Mei Sejarah Aneksasi Paksa Bangsa Papua Barat Masuk RI |
Papua
di Indonesia indentik dengan kekerasan, namun tak pernah dipandang apa
penyebab "Konflik". Tak memanipulasi menjadi konflik perang antar suku,
tetapi yang...
sebenarnya adalah "Konflik Ciptaan" (devide et impera), untuk menutupi
akar masalah PAPUA - JAKARTA yaitu sejarah yang belum tuntas. Salah satu
yang harus dibincangkan adalah mengenai keputusan PEPERA tahun 1969,
yang dijawab Indonesia dengan invasi militer.
A. HASIL PEPERA 1969 DALAM DOKUMEN PBB ANNEX I, A/7723.
Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang berada di Papua untuk mengawasi pelaksanaan penentuan pendapat rakyat tahun 1969, dalam laporannya menyatakan penyesalannya karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22) tentang hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua. Laporan Ortiz Sanz dalam Sidang Umum PBB bulan September 1969 sebagai berikut:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli” (Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“I regret to have to express my reservation regarding the implementation of article XXII of the New York Agreement, relating to “the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and assembly, of the inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this important provision was not fully implemented and the Administration exercised at all times a tight political control over the population” (UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70).
Pemerintah Indonesia telah menentang PBB dengan tidak melaksanakannya Perjanjian New York Pasal XXI (22). Penentangan itu terbukti dengan Surat Keputusan resmi Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno bernomor: 8/Mei/1963 yang menyatakan:
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, pertemuan umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman- pengumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden” (SK, No. 8, Mei 1963).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB menyatakan pula tentang kekecewaannya. Karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI (16) di Papua Barat.
“Saya harus menyatakan pada awal laporan ini bahwa, ketika saya tiba di Papua pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah tentang tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan Pasal XVI (16) Perjanjian New York. Walaupun, ahli PBB yang harus berada di Papua pada saat peralihan tanggungjawab administrasi sepenuhnya kepada Indonesia telah dikurangi, mereka tidak pernah mengetahui secara baik keadaan-keadaan dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati, membatu dalam persiapan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang penentuan nasib sendiri tidak didukung selama masa bulan Mei 1963 s/d 23 Agustus 1969 …” (paragraph 23, hal. 12).
Kutipan aslinya:
“I must state at the outset of this report that, when I arrived in the territory in August 1968, I was faced with the problem of non-compliance with the provisions of article XVI of the Agreement. Though the United Nations experts who were to have remained in the territory at the time of the transfer of full administrative responsibility to Indonesia had been designated, they had never, owing to well known circumstances, taken up their duties. Consequently, their essential functions of advising on and assisting in preparation for carrying out the provisions for self-determinations had not been performed during the period May 1963 to 23 August 1969 …”(paragraph 23, p. 12).
Dr. Fernando Ortiz Sanz juga sangat menyesal, karena orang-orang Indonesia tidak melaksanakan Perjanjian New Yok Pasal XVIII (18) tentang sistem “satu orang, satu suara” sesuai dengan praktek internasional. Tetapi, orang-orang Indonesia memakai sistem lokal Indonesia, yaitu sistem “musyawarah”.
“… pelaksanaan pemilihan bebas telah dilaksanakan di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia, …(paragraph 253, hal. 70).“… an act of free choice has taken place in West Irian accordance with Indonesia practice, … (paragraph 253, p. 70).
Sang Diplomat Bolivia ini juga menyatakan dalam laporannya secara tegas dan jelas bahwa orang-orang Papua Barat dalam pernyataan-pernyataannya menyatakan berkeinginan kuat untuk merdeka dan tidak ingin dimasukkan ke dalam negara Indonesia.
“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasai oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih daripada 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka sepakat tinggal dengan Indonesia”
( paragraph 250, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“The petitions opposing annexation to Indonesia, the cases of unrest in Manokwari, Enarotali, and Waghete, the flights of number of people to the part of the island that is administrated by Australia, and the existence of political detainees, more than 300 of the population of West Irian held firm conviction in favour of independence. Nevertheless, the answer given by the consultative assemblies to the questions put to them was a unanimous consensus in favour of remaining with Indonesia” ( paragraph 250, hal. 70).
Ortiz Sanz juga melaporkan sikap orang-orang Indonesia yang menolak nasihat-nasihatnya kepada orang-orang Indonesia untuk melaksanakan Perjanjian New York Pasal XVI (16). Fernando menyatakan kecewa karena pendekatannya tidak diberikan jawaban yang menyenangkan.
“… Pada beberapa kesempatan, saya mendekati pemerintah Indonesia yang berkuasa pada saat itu untuk tujuan melaksanakan ketentuan-ketentuan pasal XVI (16), tetapi gagal mendapat jawaban yang menyenangkan. Pada tanggal 7 Januari 1965, sebagaimana diketahui, Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB, dan oleh karena itu tidak memungkinkan untuk mengutus ahli PBB ke West New Guinea (Irian Barat)” (paragraph 7, hal. 3).
Kutipan aslinya:
“… on several occasion, I approached the Government which was in power in Indonesia at the time for purpose of implementing the provisions of article XVI, but failed to obtain a favourable reply. On 7 January 1965, as is well known, Indonesia withdrew its co-operation with the United Nations and it therefore became impossible to send the United Nations experts West New Guinea (West Irian)” (paragraph 7, p. 3).
Mr. Fenando menggambarkan situasi yang sangat berbahaya di Papua karena pemerintah Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB dan karena itu tidak memungkinkan PBB mengutus tim PBB ke Papua untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan penentuan nasib sendiri di Papua tahun 1969. Fernando melihat bahwa pada saat tim PBB tidak berada di Papua, pemerintah Indonesia secara bebas mengejar, menangkap, menyiksa, membunuh dan menghilangkan orang-orang Papua.
“Pelaksanaan bagian kedua Perjanjian New York sangat berbahaya selama ketidakpastian waktu tidak hanya dengan penarikan diri sementara dari PBB tetapi juga dengan ketidakhadiran sebagaimana telah disebutkan dalam paragraph 14 di atas, ahli PBB yang harus berada di Papua sesuai dengan Pasal XVI (16 ) Perjanjian New York” ( paragraph 23, hal. 12).
Kutipan aslinya:
“The implementation of the second part of the Agreement was jeopardised during the certain period of time not only by the temporary withdrawal of Indonesia from the United Nations but also by the absence, as already mentioned in paragraph 14 above, of the United Nations experts who have to have remained in the territory in accordance with article XVI the Agreement” (paragraph 23, p. 12).
Ortiz Sanz sangat menyesal atas sikap dan tindakan pemerintah Indonesia, karena keinginan dan kesediaannya untuk datang kepada Papua secepat-cepatnya sengaja ditunda secara resmi oleh pemerintah Indonesia.
“Saya memegang pekerjaan saya di Markas PBB di New York ditempatkannya kantor sekretariat dan personil. Walaupun keinginan dan kesediaan saya untuk berangkat ke Papua secepatnya sesudah jabatan saya, keberangkatan saya ditunda sampai 7 Agustus 1978 atas permintaan resmi dari pemerintah Indonesia” (paragraph 27, hal. 13).
Kutipan aslinya:
“I commenced my work at United Nations Headquarters in New York, were the Secretariat placed offices and personel at my disposal. Despite my willingness and readiness to travel to territory immediately after my appointment, my departure was postponed until 7 August 1968 at the official request of the Indonesian Government” ( paragraph 27, p. 13).
Sebagaimana dikutip di bawah ini, Ortiz Sanz menyatakan reaksi yang tidak resmi dari pemerintah Indonesia tentang usulannya untuk metode pelaksanaan penentuan pendapat di Papua Barat.
“Saya menerima reaksi tidak resmi atas nasihat saya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dan metode yang memungkinkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sampai suatu pertemuan diadakan menteri luar negeri tanggal 10 Februari 1969, ketika pemerintah Indonesia menginformasikan kepada saya bahwa proposal metode diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dalam konsultasi-konsultasi untuk diadakan selama bulan Maret 1969” (paragraph 83, hal. 29).
Kutipan aslinya:
“I received no official reactions to my suggestions concerning the questions to submitted to the representative councils and possible method for the act of free choice until a meeting held at the Ministry of Foreign Affairs on 10 February 1968, when the Government informed me of the method it proposed to submit to the representative councils in consultations to be held during the month of March 1969” (paragraph 83, p.29).
Fernando juga mengatakan sikap pemerintah Indonesia yang menipu perwakilan PBB tentang metode pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua. Ortiz Sanz mengatakan, pemerintah Indonesia pikirannya tidak tetap tentang metode PEPERA.
“Ini berarti bahwa pemerintah Indonesia masih bermaksud melengkapi metode musyawarah untuk keputusan melalui perwakilan rakyat tetapi berlawanan dengan ide yang disampaikan pada 1 Oktober (lihat paragraph 8), itu direncanakan untuk melaksanakan pemilihan bebas tidak melalui satu badan 200 perwakilan, tetapi sebagai akibatnya melalui delapan wakil (perawakilan) terdiri dari 1.025 perwakilan” (paragraph 85, hal. 30).
Kupitan aslinya:
“This meant that the Government still intended to apply the consultation (musyawarah) method of decision through representative of the people but, in contradiction to the ideas expressed on 1 October (see paragraph 81), it planned to carry out the act of free choice not through no body of 200 representatives but consecutively through eight consultative assemblies, comprising some 1.025 representatives” (paragraph 85, p. 30).
Perwakilan PBB ini juga, melaporkan bahwa dia menerima keinginan dan pandangan orang Papua disampaikan dengan berbagai bentuk kepada Ortiz Sanz sebagai perwakilan PBB. “Pandangan dan keinginan rakyat dinyatakan melalui berbagai saluran. Pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demostarasi-demostrasi damai, dan beberapa terwujud pada ketidakpuasan rakyat, termasuk peristiwa-peristiwa sepanjang perbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua dan New Guinea yang dikuasai oleh Australia” (Paragraph 138, hal. 45).
Kutipan aslinya:
“The views and wishes of the people were gragually expressed through various channels: petitions and other communications submitted to me in writing or orally, peaceful demonstrations, and in some cases manifestation of public unrest, including incidents along the border between West Irian and Territory of Papua and New Guinea administrated by Australia” (paragraph 138, p. 45).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB bahwa selama dia berada di Papua telah menerima 179 pernyataan dari orang Papua. Simaklah kutipan di bawah ini: “Selama waktu misi saya berada di Papua, saya menerima sejumlah 179 pernyataan dari orang Irian Barat, politisi, sipil, dan kelompok mahasiswa, bahkan dari orang Irian Barat yang berada di luar negeri” (Paragrap 140, 46).
Kutipan aslinya:
“During the time my mission was in territory, I received a total of 179 petitions from West Irianese persons and political, civil, and student groups, as well as from Irianes residing abroad” (paragraph 140, p. 46).
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan orang Papua ini, “dalam arsif PBB di New York, secara rinci 156 dari 179 pernyataan yang masih bertahan terus, sesuai dengan semua yang diterima sampai 30 April 1969. Dari pernyataan-pernyaan ini, 95 pernyataan anti-Indonesia, 59 pernyataan pro-Indonesia, dan 2 pernyataan adalah neutral” (Lihat Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969 UN: Series 100, Box 1, File 5).
Ortiz Sanz dalam laporannya dengan tegas mengatakan bahwa mayoritas orang Papua berkeinginan untuk mendukung pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua kritik orang Indonesia dan menuntut supaya penentuan pendapat dilaksanakan dengan praktek internasional, yaitu satu orang satu suara (one man, one vote).
“Mayoritas menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua sering menyatakan kritik tentang administrasi Indonesia, mengadu kurangnya jaminan atas hak-hak dasar dan kemerdekaan, termasuk kebebasan untuk mengatur partai politik oposisi, permintaan pembebasan tahanan politik dan partisipasi dalam pelaksanaan pemilihan bebas seluruh orang Irian Barat, termasuk yang tinggal di luar negeri, pengaduan resolusi-resolusi dan pernyataan-pernyataan keinginan Indonesia sebagai kegagalan dan ditanda tangani oleh rakyat di bawa tekanan dari pemerintah resmi Indonesia; meminta untuk persyaratan sistem “satu orang satu suara= one man one vote” dalam pelaksanaan pemilihan bebas dan dipilih oleh dewan perwakilan rakyat, dan dinyatakan pandangan bahwa kelompok oposisi (lawan) hendaknya diberikan perwakilan dalam dewan-dewan” ( paragrap 143, hal. 47).
Kutipan aslinya:
“… The majority indicated the desire to sever ties with Indonesia and support the idea of the establishment of a Free Papua State. The petitioners often expressed criticism of the Indonesian administration; complained against acts of repression by the Indonesian armed forces; denounced the lacf of guarantees for basic rights and freedoms, including the freedom to orginise opposition political parties; requested the release of political prisoners and participation in the act of free choice of all Irianese, including those residing abroad; denounced resolutions and statements in favour of Indonesia as false and signed by people under pressure from Indonesian officials; asked for the application of the “one man, one vote” system in the act of free choice and in the election by the people of the representatives to the councils, and expressed the view that opposition groups should be given representation in the councils” (paragraph 143, p. 47).
Fernando melaporkan pula dalam laporannya bahwa orang-orang Papua berkeinginan melaksanakan penentuan pendapat rakyat dengan bebas tanpa tekanan militer Indonesia. Simaklah kutipan di bawah ini.
“Pemimpin-pemimpin penentang meminta penarikan pasukan-pasukan Indonesia dari Paniai dengan menjelaskan bahwa rakyat berkeinginan untuk melaksanakan hak pemilihan bebas tanpa tekanan. Sebuah pesawat pemerintah membawa dukungan 16 tentara, dan pada tanggal 30 April tembakan dimulai antara pasukan-pasukan Indonesia dan penentang dibantu oleh pembelot dari anggota tentara dan polisi” (paragrap 160, hal. 51).
Kutipan aslinya:
“The leaders of the insurgents requested the withdrawal of Indonesian troops from Paniai with the explanation that the people wanted to exercise the right of free choice without pressure. A government plane brought reinforcements of sixteen soldiers, and on 30 April shooting started between the Indonesian troops and the insurgents aided by the armed police deserters” (paragraph 160, p. 51).
Fernando melaporkan pula bahwa pelarian orang-orang Papua ke Papua New Guinea adalah karena ketidakpuasan terhadap pelaksanaan penentuan pendapat yang tidak demokratis, tidak jujur dan penuh intimidasi dan teror oleh kekuatan militer Indonesia.
“Namun demikian, keadaan yang sulit daerah lintas batas selama misi saya di Irian Barat menunjukkan keputusan politik pasti tidak memuaskan bagian dari beberapa orang penduduk asli” (paragrap 172, hal. 54).
Kutipan aslinya:
“Nevertheless, the recurrence of border crossing during my mission in West Irian seems to show a certain degree of political dissatisfaction on the part of some of the inhabitants” (paragraph 172, p. 54).
Perwakilan PBB, Mr. Fernando mengetahui betul bahwa hasil-hasil PEPERA akan dicapai tidak sesuai dengan keinginan mayoritas orang Papua untuk merdeka. Tetapi, dia terus melaksanakan misinya untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis dan tidak jujur itu.
“Walupun secara jujur hasil negatif dicapai pada saat itu, saya melanjutkan usaha saya supaya Pasal XXII (22) Perjanjian New York patut dilaksanakan pada pertemuan menteri luar negeri pada 24 Mei, saya berkata bahwa masalah pelaksanaan penuh Pasal XXII (22) Perjanjian New York, berhubungan dan hak-hak kebebasan dibicarakan pada saat itu, tidak ada usaha nyata untuk diterima. Saya menyarankan bahwa pemerintah Indonesia hendaknya mengijinkan lawan politik berkesempatan untuk menyatakan pandangan mereka, sejak itu waktu yang tepat untuk diterima” (paragrap 180, hal. 56).
Kutipan aslinya:
“Notwithstanding the fairly negative result achived up to that time, I continued my effort to have article XXII properly implemented. At a meeting at the Ministry of Foreign Affairs on 24 May, I said that the problem of the full implementation of article XXII concerning rights and freedoms had to be dealt with because, up to that time, no concrete measures had been adopted.I suggested that the Indonesian government should allow the opposition the opportunity to express its views, since that was the moment to adopt courageous and generous measures” (paragraph 180, p. 56).
B. HASIL PEPERA 1969 DITOLAK OLEH BEBERAPA NEGARA ANGGOTA PBB
Secara jujur perlu disampaikan kepada para pembaca bahwa pelaksanaan penentuan pendapat rakyat di Papua 14 Juli s/d 2 Agustus 1969 di Papua Barat sangat tidak demokratis, tidak jujur dan penuh intimidasi dan tekanan-tekanan kekuatan militer Indonesia. Salah satu bukti, Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No. :TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Penghadapi Referendum di IRBA tahun 1969 yang menyatakan: “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organic maupun yang B/P-kan baik dari Angkatakan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 Uharus dimenangkan, harus dimenangkan.U Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini berlaku sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pandam 17/PANG OPSADAR”.
Apa yang dikutip ini hanya salah satu bukti tekanan-tekanan militer Indonesia dalam menghadapi rakyat di Papua Barat. Karena itu, 15 negara anggota PBB menilai bahwa pelaksanaan penentuan pendapat di Papua tidak demokratis dan melanggar hak-hak asasi rakyat Papua. Kita patut memberikan anjungan jempol kepada 15 negara anggota PBB tersebut. Perdebatan sengit pun tidak dapat dihindari dalam Sidang Umum PBB 1969 di Markas Besar PBB, New York. Perlawanan itu datang dari pemerintah Ghana dan Gabon. Simaklah kutipan tentang perlawanan sengit Mr. Akwei (pemerintah Ghana) dan Mr. Davin (pemerintah Gabon) sebagai berikut:
1. Mr. Akwei ( Pemerintah Ghana)
Mr. Akwei menyatakan kritiknya dalam hal metode pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua, bahwa: “… Mr. Ortiz Sanz membuat dua proposal untuk bahan pertimbangan pemerintah Indonesia: pertama, bahwa pelaksanaan pemilihan bebas didasarkan pada pemilihan langsung di daerah kota pesisir pantai dimana daerah sudah maju dalam pendidikan dan berpengalaman rakyat Irian Barat hendak berpartisipasi untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan kedua, bahwa daerah pedalaman dimana tingkat pendidikan, komunikasi dan pendidikan yang sulit, dipakai satu sistem “musyawarah bersama” untuk prosedur pelaksanaan satu orang satu suara. Nasihat dari perwakilan Sekretaris Umum dalam hal ini ditolak oleh pemerintah Indonesia” ( Lihat : Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812PthP: Sidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969).
Kutipan aslinya:
“Mr. Ortiz Sanz made two proposals for the consideration of the Indonesian Government: first, that act of free choice should be based on direct voting in the cities in coastal areas where the general area of development, education and experience of the people of West Irian would quality them to express their options freely, and second, that in the hinderland, where the level of development, communication and education would be difficult, a system “of collective consultation” might be used to complement the one man, one vote, procedure. The advice of the Secretary-General’s
Representative on this issu was rejected by the Indonesia Government” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969).
Mr. Akwei juga memberi kritik dengan keras bahwa:
“Seluruh laporan perwakilan Sekretaris Umum PBB memberi kesan bahwa Ortiz Sanz tidak puas dengan metode musyawarah, yang diputuskan oleh pemerintah Indonesia sebagai prosedur untuk dipakai penentuan pemilihan bebas, … ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf 18, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“Throughout the report of the Secretary-General’s Representative the impression is clear that Mr. Ortiz Sanz was not satisfied with the method of musyawarah, which has been decided upon by the Indonesian Government as the procedure to be used to determine the act of free choice, …( see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 18, p. 2).
Sang Diplomat Ghana ini juga memberikan kritik atas tidak dilaksanakannya praktek internasional dalam penentuan nasib sendiri orang-orang Papua Barat. Kritiknya sebagai berikut:
“ … PBB mengakui pelaksanaan pemilihan bebas adalah benar-benar suatu pelaksanaan penentuan nasib sendiri oleh rakyat Irian Barat atau kata-kata Perjanjian New York” sesuai dengan praktek internasional”. Di sini masalah lagi adalah laporan bahwa metode yang dipakai penentuan kehendak rakyat tidak sesuai dengan praktek internasional” pelaksanaan pemilihan bebas diadakan di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia” (A/7723 dan Corr. 1, annex I, paragraph 235, tetapi tidak sesuai dengan praktek internasional” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf 20, halaman 3).
Kutipan aslinya:
“… the United Nations to recognise the act of free choice as having been truly and act of self-determination by the people of West Irian or, in the words of the Agreement “ in accordance with international practice”. Here again it is matter of record that the methode adopted to determine the peoples will was not in accord with international practice. Hence the painful but clear verdict of Ambassador Ortiz Sanz that” an act of free choice has taken place in West Irian in accordance with Indonesia practice” (A/7723 and Corr.1, Annex I, paragraph 253, but not in accordance with internasional practice” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 18, p. 2).
Mr. Akwei juga mengutip laporan Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan dalam pelaksanaan pemilihan bebas di Papua Barat.
“Lebih lanjut, yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Saya mengutip dari laporan: “Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia” dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah. Satu negara dari Sabang sampai Merauke. Dia menambahkan, pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia. Dia menyatakan atas sidang untuk membuat Merauke suatu awal kemenangan (A//7723 and Corr. 1, Annex I, paragraph 195)” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf 28, halaman 4).
Kutipan aslinya:
“ Futher, it is reported by the representative of the Secretary-General that at the actual event of deciding the act of free choice the strange phenomenon wa regularly gone through whereby the Minister of Home Affairs took the floor and virtually campaigned, as it were. I quote from the report:
“He”- the Minister of Home Affairs of Indonesia- “asked the members of the assembly to determine their future with courage and full responsibility bearing in mind that they had one ideology, Pancha Shila, one flag, one Government, and one country extending from Sabang to Merauke. It was the Indonesian Government, he added, which was willing and able to care for the welfare of the people of West Irian; therefore, there was no alternative but to remain within the Republic of Indonesia. He called upon the assembly to make Merauke the beginning of victory.” (A/7723 and Corr.1, annex I, paragraph 195.), ( see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28, p.4).
2. Mr. Davin ( Pemerintah Gabon)
Delegasi pemerintah Gabon dalam kritiknya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua dalam melakasnakan PEPERA di Papua Barat. Simaklah kutipan-kutipan di bawah ini.
“Setelah mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebinggugan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 11, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“After studying this report, the Gabonese delegation finds itself extremely perplexed. It is very hard to us to pass judgement on the methods and procedures that were used to consult the people of West Irian. We are greatly disturbed by the reservations formulated by Mr. Ortiz Sanz in the final remarks at the close of his report” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.2).
“Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menyatakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Umum. Contoh; kami dapat betanya mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat; mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja; Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah; mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 12, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“As regards these methods and procedures, if my delegation had thought it necessary to speak on the substance of the question, it would certainly have drawn the Assembly’s attention to certain aspect which are, to say the least, unusual. We might have expressed our surprise and requested an explanation concerning a number of fact brought out in the report of the Representative of the Secretary-General. For example, we might asked why the vast majority of the deputies were appointed by the government and not elected by the people; why the United Nations observers were able to be present at the election of only 20 per cent of the deputies, some of whom, incidentally, were elected automatically because they belonged to official representative bodies; why the consultative assemblies were presided over by the Governor of the district, in others, by the representative of governmental authority; why only Government authorised organisations, and not opposition movements, were able to present candidates(see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.2).
“Kami dapat bertanya mengapa prinsip “one man, one vote” direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Umum tidak dilaksanakan; Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer; Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal bersatu dengan Indonesia”; Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; perserikatan dan perkumpulan; tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 14, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“We might have asked why the principle of “one man, one vote”, recommended by the Representative of the Secretary-General, was not adopted; why there was not a secret ballot, but a public consultation in the presence of the government authorities and the army; why rights recognised in article XXII of the Agreement, concerning freedom of opinion statement, association and assembly, were not enjoyed by all citizens” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 13, p.2).
“…. Saya sangat menyesal, saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan dalam laporan. Bahwa bukti-bukti menambah keprihatinan kita, jika memungkinkan, dengan diikuti keberatan dibuat oleh Perwakilan Sekretaris Umum:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli” (Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, hal. 70). ” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 14, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“I regret to have to express my reservation regarding the implementation of article XXII of the New York Agreement, relating to “the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and assembly, of the inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this important provision was not fully implemented and the Administration exercised at all times a tight political control over the population” (UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70)
Dalam tulisan ini juga, penting ditulis apa yang disampaikan oleh Dr. Hans Meijer, Sejarahwan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat. Hans menyatakan bahwa:
“Sebagian besar hal yang menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar tertulis dalam arsif. Sebab Menteri Luar Negeri Belanda, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya bahwa PEPERA 1969 tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia …, sungguh-sungguh itu tidak demokratis dan itu suatu lelucon. Lunz juga, mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda meninggalkan Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahkan Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA tidak demokratis, mereka tidak berbuat apa-apa tentang itu. Mr. Saltimar yang adalah Duta Besar Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri, bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah tetapi itu bukan tanggungjawabnya untuk melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi”.
Dr. Hans menambahkan bahwa “…. Khusunya sebagaimana saya mempunyai teman dari British namanya ialah John Saltford dan dia meneliti peranan PBB dalam penentuan pendapat rakyat (PEPERA) dan dengan penelitian saya dan penelitiannya saya berpikir orang-orang Papua mempunyai masalah yang sangat kuat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa PEPERA adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya tidak jujur dan bahwa itu perlu ditinjau kembali”.
Meijer mengatakan pula “Dan sekarang itu masalah untuk Indonesia bahwa ketika orang-orang Papua menerima semua dokumen-dokumen saya dan mereka menghadap Presiden Wahid, dan Wahid akan datang kepada pemerintah Belanda dan berkata: “Baik, saya sangat tidak gembira dengan apa yang terjadi di Holland tentang diskusi mengenai apa yang kita lakukan dengan pelaksanaan penentuan pendapat rakyat. Demikian pemerintah Belanda sangat tidak sungguh-sungguh mengumumkan semua penelitian saya. Mereka bahkan tidak bereaksi. Mereka sendiri mempunyai penelitian resmi tetapi hasil penelitian itu memakan waktu bertahun-tahun. Dan mengapa? Sebab mereka tidak gembira tentang hasil, sebab itu akan sangat memusingkan kedua negara” (Lihat: Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program, first broadcasting, 17 April 2001).
C. RESOLUSI PBB TENTANG HASIL PEPERA 1969
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang New Guinea Barat (Irian Barat). Draf Resolusi PBB No. A./L.574 dari Belgium, Indonesia, Malaysia dan Thailand:
Sidang Umum:
Mengingat resolusi 1752 (XVII) 21 September 1962 menerima perjanjian antara Republik Indonesia dan Belanda berhubungan New Gunea Barat (Irian Barat), peran atas Sekretaris -General dalam perjanjian dengan menggunakan dan untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya,
Mengingat juga keputusan 6 Nopember 1963 menerima laporan Sekretaris-General penyelesaian UNTEA dI irian Barat,
Mengingat lebih lanjut, bahwa persiapan-persiapan untuk pelaksanaan pemilihan bebas adalah tanggung jawab Indonesia untuk menasihati, membantu dan partisipasi dari perwakilan khusus Sekretaris-General, sebagai mana ditentukan dalam Perjanjian,
Menerima laporan hasil-hasil pelaksanaan pemilihan bebas yang disiapkan oleh Sekretaris-General sesuai dengan pasal XXI, pragrap 1 menyetujui Perjanjian dan hasil-hasilnya,
Mengingat, sesui dengan pasal Perjanjian XXI paragrap 2, dua negara mengakui
hasil-hasil ini.
Menerima bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasional, memberikan perhatian khusus untuk pengambangan Irian Barat, mengingat keadaan penduduk, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia, akan melanjutkan untuk memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank pembangunan Asia dan lembaga-lembaga PBB.
1. Menerima Laporan Sekretaris General menyatakan dengan penghargaan bahwa penyelesaian oleh Sekretaris General dan perwakilannya dari tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka dibawah perjanjian 1962 antara Indonesia dan Belanda;
2. menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui orang-orang lain kepada Pemerintah Indonesia dalam usaha untuk meningkatkan ekonomi dan sosial Irian Barat; (lihat: United Nations General Assembly: A/L.574, 12 November 1969, seventy-fourth session, Agenda item 98).
Dari Ghana mengamandemen draf Resolusi yang disampaikan oleh Belgium, Indonesia, Luxemburg, Malaysia, Belanda dan Thailand: (A/L.574).
1. Menggantikan peranggap keempat pembukaan sebagai berikut:
Menerima laporan pekerjaan terakhir Sekretrais-General perwakilannya di Indonesia sesuai Perjanjian.
2. Menggantikan paragrap kelima pembukaan sebagai berikut:
Mengingat kepentingan dan kesejahteraan rakyat Irian Barat seperti dinyatakan dalam pembukaan Perjanjian.
3. Memasukan paragrap baru keenam pembukaan bacanya sebagai berikut:
Lebih lanjut mengingat pasal XVIII Perjanjian dan sebaliknya, menyebutkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sesuai dengan praktek internasional,”
4. Memasukan paragrap baru ketujuh pembukaan bacanya sebagai berikut:
“Menegaskan, melanjutkan perhatian PBB sesuai tujuan Perjanjian,”
5. Pada akhir paragrap pembukaan, menghilangkan kata-kata “Bank Pembangunan Asia dan”
6. Menggantikan paragrap 1 yang berlaku sebagai berikut:
“1. Menerima laporan Sekretaris-General dan perwakilannya dalam usaha-usaha untuk memenuhi tanggungjawab mereka di bawah Perjanjian 1962 antara Indonesia dan Belanda,”
7. Memasukan paragrap 2 yang baru berlaku sebagai berikut:
“2. Memutuskan bahwa Rakyat Irian Barat hendaknya diberikan kesempatan lebih lanjut, akhir tahun 1975 untuk melaksanakan pemilihan bebas sesuai dengan Perjanjian;”
8. Menempatkan kembali, paragrap 2 sebagai berikut:
“3. Menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui lembaga-lembaga PBB untuk menambah usaha-usaha pemerintah Indonesia demi meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial di Irian barat” (Lihat: United Nations General Assembly: A/L.576, 19 November 1969, Twenty-fourth session, Agenda item, 98).
Dalam kaitan dengan pengungkapan rekayasa PEPERA 1969 ini, Dr. John Saltford dalam penelitiannya di Markas Besar PBB di New York, dengan Judul “ UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN ( INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969” mengungkapkan dokumen-dokumen signifikan tentang pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis di Papua.
A. HASIL PEPERA 1969 DALAM DOKUMEN PBB ANNEX I, A/7723.
Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang berada di Papua untuk mengawasi pelaksanaan penentuan pendapat rakyat tahun 1969, dalam laporannya menyatakan penyesalannya karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York Pasal XXII (22) tentang hak-hak dan kebebasan orang-orang Papua. Laporan Ortiz Sanz dalam Sidang Umum PBB bulan September 1969 sebagai berikut:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli” (Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“I regret to have to express my reservation regarding the implementation of article XXII of the New York Agreement, relating to “the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and assembly, of the inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this important provision was not fully implemented and the Administration exercised at all times a tight political control over the population” (UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70).
Pemerintah Indonesia telah menentang PBB dengan tidak melaksanakannya Perjanjian New York Pasal XXI (22). Penentangan itu terbukti dengan Surat Keputusan resmi Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno bernomor: 8/Mei/1963 yang menyatakan:
“Melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang Partai Baru di Irian Barat. Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, pertemuan umum, demonstrasi-demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman- pengumuman, penyebaran, perdagangan atau artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh Presiden” (SK, No. 8, Mei 1963).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB menyatakan pula tentang kekecewaannya. Karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI (16) di Papua Barat.
“Saya harus menyatakan pada awal laporan ini bahwa, ketika saya tiba di Papua pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah tentang tidak dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan Pasal XVI (16) Perjanjian New York. Walaupun, ahli PBB yang harus berada di Papua pada saat peralihan tanggungjawab administrasi sepenuhnya kepada Indonesia telah dikurangi, mereka tidak pernah mengetahui secara baik keadaan-keadaan dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati, membatu dalam persiapan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang penentuan nasib sendiri tidak didukung selama masa bulan Mei 1963 s/d 23 Agustus 1969 …” (paragraph 23, hal. 12).
Kutipan aslinya:
“I must state at the outset of this report that, when I arrived in the territory in August 1968, I was faced with the problem of non-compliance with the provisions of article XVI of the Agreement. Though the United Nations experts who were to have remained in the territory at the time of the transfer of full administrative responsibility to Indonesia had been designated, they had never, owing to well known circumstances, taken up their duties. Consequently, their essential functions of advising on and assisting in preparation for carrying out the provisions for self-determinations had not been performed during the period May 1963 to 23 August 1969 …”(paragraph 23, p. 12).
Dr. Fernando Ortiz Sanz juga sangat menyesal, karena orang-orang Indonesia tidak melaksanakan Perjanjian New Yok Pasal XVIII (18) tentang sistem “satu orang, satu suara” sesuai dengan praktek internasional. Tetapi, orang-orang Indonesia memakai sistem lokal Indonesia, yaitu sistem “musyawarah”.
“… pelaksanaan pemilihan bebas telah dilaksanakan di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia, …(paragraph 253, hal. 70).“… an act of free choice has taken place in West Irian accordance with Indonesia practice, … (paragraph 253, p. 70).
Sang Diplomat Bolivia ini juga menyatakan dalam laporannya secara tegas dan jelas bahwa orang-orang Papua Barat dalam pernyataan-pernyataannya menyatakan berkeinginan kuat untuk merdeka dan tidak ingin dimasukkan ke dalam negara Indonesia.
“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasai oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih daripada 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka sepakat tinggal dengan Indonesia”
( paragraph 250, hal. 70).
Kutipan aslinya:
“The petitions opposing annexation to Indonesia, the cases of unrest in Manokwari, Enarotali, and Waghete, the flights of number of people to the part of the island that is administrated by Australia, and the existence of political detainees, more than 300 of the population of West Irian held firm conviction in favour of independence. Nevertheless, the answer given by the consultative assemblies to the questions put to them was a unanimous consensus in favour of remaining with Indonesia” ( paragraph 250, hal. 70).
Ortiz Sanz juga melaporkan sikap orang-orang Indonesia yang menolak nasihat-nasihatnya kepada orang-orang Indonesia untuk melaksanakan Perjanjian New York Pasal XVI (16). Fernando menyatakan kecewa karena pendekatannya tidak diberikan jawaban yang menyenangkan.
“… Pada beberapa kesempatan, saya mendekati pemerintah Indonesia yang berkuasa pada saat itu untuk tujuan melaksanakan ketentuan-ketentuan pasal XVI (16), tetapi gagal mendapat jawaban yang menyenangkan. Pada tanggal 7 Januari 1965, sebagaimana diketahui, Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB, dan oleh karena itu tidak memungkinkan untuk mengutus ahli PBB ke West New Guinea (Irian Barat)” (paragraph 7, hal. 3).
Kutipan aslinya:
“… on several occasion, I approached the Government which was in power in Indonesia at the time for purpose of implementing the provisions of article XVI, but failed to obtain a favourable reply. On 7 January 1965, as is well known, Indonesia withdrew its co-operation with the United Nations and it therefore became impossible to send the United Nations experts West New Guinea (West Irian)” (paragraph 7, p. 3).
Mr. Fenando menggambarkan situasi yang sangat berbahaya di Papua karena pemerintah Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB dan karena itu tidak memungkinkan PBB mengutus tim PBB ke Papua untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan penentuan nasib sendiri di Papua tahun 1969. Fernando melihat bahwa pada saat tim PBB tidak berada di Papua, pemerintah Indonesia secara bebas mengejar, menangkap, menyiksa, membunuh dan menghilangkan orang-orang Papua.
“Pelaksanaan bagian kedua Perjanjian New York sangat berbahaya selama ketidakpastian waktu tidak hanya dengan penarikan diri sementara dari PBB tetapi juga dengan ketidakhadiran sebagaimana telah disebutkan dalam paragraph 14 di atas, ahli PBB yang harus berada di Papua sesuai dengan Pasal XVI (16 ) Perjanjian New York” ( paragraph 23, hal. 12).
Kutipan aslinya:
“The implementation of the second part of the Agreement was jeopardised during the certain period of time not only by the temporary withdrawal of Indonesia from the United Nations but also by the absence, as already mentioned in paragraph 14 above, of the United Nations experts who have to have remained in the territory in accordance with article XVI the Agreement” (paragraph 23, p. 12).
Ortiz Sanz sangat menyesal atas sikap dan tindakan pemerintah Indonesia, karena keinginan dan kesediaannya untuk datang kepada Papua secepat-cepatnya sengaja ditunda secara resmi oleh pemerintah Indonesia.
“Saya memegang pekerjaan saya di Markas PBB di New York ditempatkannya kantor sekretariat dan personil. Walaupun keinginan dan kesediaan saya untuk berangkat ke Papua secepatnya sesudah jabatan saya, keberangkatan saya ditunda sampai 7 Agustus 1978 atas permintaan resmi dari pemerintah Indonesia” (paragraph 27, hal. 13).
Kutipan aslinya:
“I commenced my work at United Nations Headquarters in New York, were the Secretariat placed offices and personel at my disposal. Despite my willingness and readiness to travel to territory immediately after my appointment, my departure was postponed until 7 August 1968 at the official request of the Indonesian Government” ( paragraph 27, p. 13).
Sebagaimana dikutip di bawah ini, Ortiz Sanz menyatakan reaksi yang tidak resmi dari pemerintah Indonesia tentang usulannya untuk metode pelaksanaan penentuan pendapat di Papua Barat.
“Saya menerima reaksi tidak resmi atas nasihat saya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dan metode yang memungkinkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sampai suatu pertemuan diadakan menteri luar negeri tanggal 10 Februari 1969, ketika pemerintah Indonesia menginformasikan kepada saya bahwa proposal metode diajukan untuk dewan-dewan perwakilan dalam konsultasi-konsultasi untuk diadakan selama bulan Maret 1969” (paragraph 83, hal. 29).
Kutipan aslinya:
“I received no official reactions to my suggestions concerning the questions to submitted to the representative councils and possible method for the act of free choice until a meeting held at the Ministry of Foreign Affairs on 10 February 1968, when the Government informed me of the method it proposed to submit to the representative councils in consultations to be held during the month of March 1969” (paragraph 83, p.29).
Fernando juga mengatakan sikap pemerintah Indonesia yang menipu perwakilan PBB tentang metode pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua. Ortiz Sanz mengatakan, pemerintah Indonesia pikirannya tidak tetap tentang metode PEPERA.
“Ini berarti bahwa pemerintah Indonesia masih bermaksud melengkapi metode musyawarah untuk keputusan melalui perwakilan rakyat tetapi berlawanan dengan ide yang disampaikan pada 1 Oktober (lihat paragraph 8), itu direncanakan untuk melaksanakan pemilihan bebas tidak melalui satu badan 200 perwakilan, tetapi sebagai akibatnya melalui delapan wakil (perawakilan) terdiri dari 1.025 perwakilan” (paragraph 85, hal. 30).
Kupitan aslinya:
“This meant that the Government still intended to apply the consultation (musyawarah) method of decision through representative of the people but, in contradiction to the ideas expressed on 1 October (see paragraph 81), it planned to carry out the act of free choice not through no body of 200 representatives but consecutively through eight consultative assemblies, comprising some 1.025 representatives” (paragraph 85, p. 30).
Perwakilan PBB ini juga, melaporkan bahwa dia menerima keinginan dan pandangan orang Papua disampaikan dengan berbagai bentuk kepada Ortiz Sanz sebagai perwakilan PBB. “Pandangan dan keinginan rakyat dinyatakan melalui berbagai saluran. Pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demostarasi-demostrasi damai, dan beberapa terwujud pada ketidakpuasan rakyat, termasuk peristiwa-peristiwa sepanjang perbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua dan New Guinea yang dikuasai oleh Australia” (Paragraph 138, hal. 45).
Kutipan aslinya:
“The views and wishes of the people were gragually expressed through various channels: petitions and other communications submitted to me in writing or orally, peaceful demonstrations, and in some cases manifestation of public unrest, including incidents along the border between West Irian and Territory of Papua and New Guinea administrated by Australia” (paragraph 138, p. 45).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB bahwa selama dia berada di Papua telah menerima 179 pernyataan dari orang Papua. Simaklah kutipan di bawah ini: “Selama waktu misi saya berada di Papua, saya menerima sejumlah 179 pernyataan dari orang Irian Barat, politisi, sipil, dan kelompok mahasiswa, bahkan dari orang Irian Barat yang berada di luar negeri” (Paragrap 140, 46).
Kutipan aslinya:
“During the time my mission was in territory, I received a total of 179 petitions from West Irianese persons and political, civil, and student groups, as well as from Irianes residing abroad” (paragraph 140, p. 46).
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan orang Papua ini, “dalam arsif PBB di New York, secara rinci 156 dari 179 pernyataan yang masih bertahan terus, sesuai dengan semua yang diterima sampai 30 April 1969. Dari pernyataan-pernyaan ini, 95 pernyataan anti-Indonesia, 59 pernyataan pro-Indonesia, dan 2 pernyataan adalah neutral” (Lihat Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969 UN: Series 100, Box 1, File 5).
Ortiz Sanz dalam laporannya dengan tegas mengatakan bahwa mayoritas orang Papua berkeinginan untuk mendukung pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua kritik orang Indonesia dan menuntut supaya penentuan pendapat dilaksanakan dengan praktek internasional, yaitu satu orang satu suara (one man, one vote).
“Mayoritas menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan negara Papua Merdeka. Rakyat Papua sering menyatakan kritik tentang administrasi Indonesia, mengadu kurangnya jaminan atas hak-hak dasar dan kemerdekaan, termasuk kebebasan untuk mengatur partai politik oposisi, permintaan pembebasan tahanan politik dan partisipasi dalam pelaksanaan pemilihan bebas seluruh orang Irian Barat, termasuk yang tinggal di luar negeri, pengaduan resolusi-resolusi dan pernyataan-pernyataan keinginan Indonesia sebagai kegagalan dan ditanda tangani oleh rakyat di bawa tekanan dari pemerintah resmi Indonesia; meminta untuk persyaratan sistem “satu orang satu suara= one man one vote” dalam pelaksanaan pemilihan bebas dan dipilih oleh dewan perwakilan rakyat, dan dinyatakan pandangan bahwa kelompok oposisi (lawan) hendaknya diberikan perwakilan dalam dewan-dewan” ( paragrap 143, hal. 47).
Kutipan aslinya:
“… The majority indicated the desire to sever ties with Indonesia and support the idea of the establishment of a Free Papua State. The petitioners often expressed criticism of the Indonesian administration; complained against acts of repression by the Indonesian armed forces; denounced the lacf of guarantees for basic rights and freedoms, including the freedom to orginise opposition political parties; requested the release of political prisoners and participation in the act of free choice of all Irianese, including those residing abroad; denounced resolutions and statements in favour of Indonesia as false and signed by people under pressure from Indonesian officials; asked for the application of the “one man, one vote” system in the act of free choice and in the election by the people of the representatives to the councils, and expressed the view that opposition groups should be given representation in the councils” (paragraph 143, p. 47).
Fernando melaporkan pula dalam laporannya bahwa orang-orang Papua berkeinginan melaksanakan penentuan pendapat rakyat dengan bebas tanpa tekanan militer Indonesia. Simaklah kutipan di bawah ini.
“Pemimpin-pemimpin penentang meminta penarikan pasukan-pasukan Indonesia dari Paniai dengan menjelaskan bahwa rakyat berkeinginan untuk melaksanakan hak pemilihan bebas tanpa tekanan. Sebuah pesawat pemerintah membawa dukungan 16 tentara, dan pada tanggal 30 April tembakan dimulai antara pasukan-pasukan Indonesia dan penentang dibantu oleh pembelot dari anggota tentara dan polisi” (paragrap 160, hal. 51).
Kutipan aslinya:
“The leaders of the insurgents requested the withdrawal of Indonesian troops from Paniai with the explanation that the people wanted to exercise the right of free choice without pressure. A government plane brought reinforcements of sixteen soldiers, and on 30 April shooting started between the Indonesian troops and the insurgents aided by the armed police deserters” (paragraph 160, p. 51).
Fernando melaporkan pula bahwa pelarian orang-orang Papua ke Papua New Guinea adalah karena ketidakpuasan terhadap pelaksanaan penentuan pendapat yang tidak demokratis, tidak jujur dan penuh intimidasi dan teror oleh kekuatan militer Indonesia.
“Namun demikian, keadaan yang sulit daerah lintas batas selama misi saya di Irian Barat menunjukkan keputusan politik pasti tidak memuaskan bagian dari beberapa orang penduduk asli” (paragrap 172, hal. 54).
Kutipan aslinya:
“Nevertheless, the recurrence of border crossing during my mission in West Irian seems to show a certain degree of political dissatisfaction on the part of some of the inhabitants” (paragraph 172, p. 54).
Perwakilan PBB, Mr. Fernando mengetahui betul bahwa hasil-hasil PEPERA akan dicapai tidak sesuai dengan keinginan mayoritas orang Papua untuk merdeka. Tetapi, dia terus melaksanakan misinya untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis dan tidak jujur itu.
“Walupun secara jujur hasil negatif dicapai pada saat itu, saya melanjutkan usaha saya supaya Pasal XXII (22) Perjanjian New York patut dilaksanakan pada pertemuan menteri luar negeri pada 24 Mei, saya berkata bahwa masalah pelaksanaan penuh Pasal XXII (22) Perjanjian New York, berhubungan dan hak-hak kebebasan dibicarakan pada saat itu, tidak ada usaha nyata untuk diterima. Saya menyarankan bahwa pemerintah Indonesia hendaknya mengijinkan lawan politik berkesempatan untuk menyatakan pandangan mereka, sejak itu waktu yang tepat untuk diterima” (paragrap 180, hal. 56).
Kutipan aslinya:
“Notwithstanding the fairly negative result achived up to that time, I continued my effort to have article XXII properly implemented. At a meeting at the Ministry of Foreign Affairs on 24 May, I said that the problem of the full implementation of article XXII concerning rights and freedoms had to be dealt with because, up to that time, no concrete measures had been adopted.I suggested that the Indonesian government should allow the opposition the opportunity to express its views, since that was the moment to adopt courageous and generous measures” (paragraph 180, p. 56).
B. HASIL PEPERA 1969 DITOLAK OLEH BEBERAPA NEGARA ANGGOTA PBB
Secara jujur perlu disampaikan kepada para pembaca bahwa pelaksanaan penentuan pendapat rakyat di Papua 14 Juli s/d 2 Agustus 1969 di Papua Barat sangat tidak demokratis, tidak jujur dan penuh intimidasi dan tekanan-tekanan kekuatan militer Indonesia. Salah satu bukti, Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No. :TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Penghadapi Referendum di IRBA tahun 1969 yang menyatakan: “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organic maupun yang B/P-kan baik dari Angkatakan Darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 Uharus dimenangkan, harus dimenangkan.U Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini berlaku sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pandam 17/PANG OPSADAR”.
Apa yang dikutip ini hanya salah satu bukti tekanan-tekanan militer Indonesia dalam menghadapi rakyat di Papua Barat. Karena itu, 15 negara anggota PBB menilai bahwa pelaksanaan penentuan pendapat di Papua tidak demokratis dan melanggar hak-hak asasi rakyat Papua. Kita patut memberikan anjungan jempol kepada 15 negara anggota PBB tersebut. Perdebatan sengit pun tidak dapat dihindari dalam Sidang Umum PBB 1969 di Markas Besar PBB, New York. Perlawanan itu datang dari pemerintah Ghana dan Gabon. Simaklah kutipan tentang perlawanan sengit Mr. Akwei (pemerintah Ghana) dan Mr. Davin (pemerintah Gabon) sebagai berikut:
1. Mr. Akwei ( Pemerintah Ghana)
Mr. Akwei menyatakan kritiknya dalam hal metode pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Papua, bahwa: “… Mr. Ortiz Sanz membuat dua proposal untuk bahan pertimbangan pemerintah Indonesia: pertama, bahwa pelaksanaan pemilihan bebas didasarkan pada pemilihan langsung di daerah kota pesisir pantai dimana daerah sudah maju dalam pendidikan dan berpengalaman rakyat Irian Barat hendak berpartisipasi untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan kedua, bahwa daerah pedalaman dimana tingkat pendidikan, komunikasi dan pendidikan yang sulit, dipakai satu sistem “musyawarah bersama” untuk prosedur pelaksanaan satu orang satu suara. Nasihat dari perwakilan Sekretaris Umum dalam hal ini ditolak oleh pemerintah Indonesia” ( Lihat : Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812PthP: Sidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969).
Kutipan aslinya:
“Mr. Ortiz Sanz made two proposals for the consideration of the Indonesian Government: first, that act of free choice should be based on direct voting in the cities in coastal areas where the general area of development, education and experience of the people of West Irian would quality them to express their options freely, and second, that in the hinderland, where the level of development, communication and education would be difficult, a system “of collective consultation” might be used to complement the one man, one vote, procedure. The advice of the Secretary-General’s
Representative on this issu was rejected by the Indonesia Government” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969).
Mr. Akwei juga memberi kritik dengan keras bahwa:
“Seluruh laporan perwakilan Sekretaris Umum PBB memberi kesan bahwa Ortiz Sanz tidak puas dengan metode musyawarah, yang diputuskan oleh pemerintah Indonesia sebagai prosedur untuk dipakai penentuan pemilihan bebas, … ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf 18, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“Throughout the report of the Secretary-General’s Representative the impression is clear that Mr. Ortiz Sanz was not satisfied with the method of musyawarah, which has been decided upon by the Indonesian Government as the procedure to be used to determine the act of free choice, …( see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 18, p. 2).
Sang Diplomat Ghana ini juga memberikan kritik atas tidak dilaksanakannya praktek internasional dalam penentuan nasib sendiri orang-orang Papua Barat. Kritiknya sebagai berikut:
“ … PBB mengakui pelaksanaan pemilihan bebas adalah benar-benar suatu pelaksanaan penentuan nasib sendiri oleh rakyat Irian Barat atau kata-kata Perjanjian New York” sesuai dengan praktek internasional”. Di sini masalah lagi adalah laporan bahwa metode yang dipakai penentuan kehendak rakyat tidak sesuai dengan praktek internasional” pelaksanaan pemilihan bebas diadakan di Irian Barat sesuai dengan praktek Indonesia” (A/7723 dan Corr. 1, annex I, paragraph 235, tetapi tidak sesuai dengan praktek internasional” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf 20, halaman 3).
Kutipan aslinya:
“… the United Nations to recognise the act of free choice as having been truly and act of self-determination by the people of West Irian or, in the words of the Agreement “ in accordance with international practice”. Here again it is matter of record that the methode adopted to determine the peoples will was not in accord with international practice. Hence the painful but clear verdict of Ambassador Ortiz Sanz that” an act of free choice has taken place in West Irian in accordance with Indonesia practice” (A/7723 and Corr.1, Annex I, paragraph 253, but not in accordance with internasional practice” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 18, p. 2).
Mr. Akwei juga mengutip laporan Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan dalam pelaksanaan pemilihan bebas di Papua Barat.
“Lebih lanjut, yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Saya mengutip dari laporan: “Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia” dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah. Satu negara dari Sabang sampai Merauke. Dia menambahkan, pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia. Dia menyatakan atas sidang untuk membuat Merauke suatu awal kemenangan (A//7723 and Corr. 1, Annex I, paragraph 195)” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 98, 19 Nopember 1969, paragraf 28, halaman 4).
Kutipan aslinya:
“ Futher, it is reported by the representative of the Secretary-General that at the actual event of deciding the act of free choice the strange phenomenon wa regularly gone through whereby the Minister of Home Affairs took the floor and virtually campaigned, as it were. I quote from the report:
“He”- the Minister of Home Affairs of Indonesia- “asked the members of the assembly to determine their future with courage and full responsibility bearing in mind that they had one ideology, Pancha Shila, one flag, one Government, and one country extending from Sabang to Merauke. It was the Indonesian Government, he added, which was willing and able to care for the welfare of the people of West Irian; therefore, there was no alternative but to remain within the Republic of Indonesia. He called upon the assembly to make Merauke the beginning of victory.” (A/7723 and Corr.1, annex I, paragraph 195.), ( see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28, p.4).
2. Mr. Davin ( Pemerintah Gabon)
Delegasi pemerintah Gabon dalam kritiknya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua dalam melakasnakan PEPERA di Papua Barat. Simaklah kutipan-kutipan di bawah ini.
“Setelah mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebinggugan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 11, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“After studying this report, the Gabonese delegation finds itself extremely perplexed. It is very hard to us to pass judgement on the methods and procedures that were used to consult the people of West Irian. We are greatly disturbed by the reservations formulated by Mr. Ortiz Sanz in the final remarks at the close of his report” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.2).
“Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menyatakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Umum. Contoh; kami dapat betanya mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat; mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja; Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah; mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 12, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“As regards these methods and procedures, if my delegation had thought it necessary to speak on the substance of the question, it would certainly have drawn the Assembly’s attention to certain aspect which are, to say the least, unusual. We might have expressed our surprise and requested an explanation concerning a number of fact brought out in the report of the Representative of the Secretary-General. For example, we might asked why the vast majority of the deputies were appointed by the government and not elected by the people; why the United Nations observers were able to be present at the election of only 20 per cent of the deputies, some of whom, incidentally, were elected automatically because they belonged to official representative bodies; why the consultative assemblies were presided over by the Governor of the district, in others, by the representative of governmental authority; why only Government authorised organisations, and not opposition movements, were able to present candidates(see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.2).
“Kami dapat bertanya mengapa prinsip “one man, one vote” direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Umum tidak dilaksanakan; Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer; Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal bersatu dengan Indonesia”; Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; perserikatan dan perkumpulan; tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 14, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“We might have asked why the principle of “one man, one vote”, recommended by the Representative of the Secretary-General, was not adopted; why there was not a secret ballot, but a public consultation in the presence of the government authorities and the army; why rights recognised in article XXII of the Agreement, concerning freedom of opinion statement, association and assembly, were not enjoyed by all citizens” (see: United Nations Official Records: 1812PthP Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 13, p.2).
“…. Saya sangat menyesal, saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan dalam laporan. Bahwa bukti-bukti menambah keprihatinan kita, jika memungkinkan, dengan diikuti keberatan dibuat oleh Perwakilan Sekretaris Umum:
“Saya dengan menyesal harus menyatakan keberatan-keberatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli” (Dokumen PBB, Annex I, A/7723, paragraph 251, hal. 70). ” ( lihat: Laporan resmi PBB: Pertemuan Paripurna 1812Pth PSidang Umum PBB, agenda pokok 106, 20 Nopember 1969, paragraf 14, halaman 2).
Kutipan aslinya:
“I regret to have to express my reservation regarding the implementation of article XXII of the New York Agreement, relating to “the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and assembly, of the inhabitants of the area”. In spite of my constant efforts, this important provision was not fully implemented and the Administration exercised at all times a tight political control over the population” (UN doc. A/7723, annex I, paragraph 251, p.70)
Dalam tulisan ini juga, penting ditulis apa yang disampaikan oleh Dr. Hans Meijer, Sejarahwan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat. Hans menyatakan bahwa:
“Sebagian besar hal yang menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar tertulis dalam arsif. Sebab Menteri Luar Negeri Belanda, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya bahwa PEPERA 1969 tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia …, sungguh-sungguh itu tidak demokratis dan itu suatu lelucon. Lunz juga, mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda meninggalkan Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahkan Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA tidak demokratis, mereka tidak berbuat apa-apa tentang itu. Mr. Saltimar yang adalah Duta Besar Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri, bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah tetapi itu bukan tanggungjawabnya untuk melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi”.
Dr. Hans menambahkan bahwa “…. Khusunya sebagaimana saya mempunyai teman dari British namanya ialah John Saltford dan dia meneliti peranan PBB dalam penentuan pendapat rakyat (PEPERA) dan dengan penelitian saya dan penelitiannya saya berpikir orang-orang Papua mempunyai masalah yang sangat kuat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa PEPERA adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya tidak jujur dan bahwa itu perlu ditinjau kembali”.
Meijer mengatakan pula “Dan sekarang itu masalah untuk Indonesia bahwa ketika orang-orang Papua menerima semua dokumen-dokumen saya dan mereka menghadap Presiden Wahid, dan Wahid akan datang kepada pemerintah Belanda dan berkata: “Baik, saya sangat tidak gembira dengan apa yang terjadi di Holland tentang diskusi mengenai apa yang kita lakukan dengan pelaksanaan penentuan pendapat rakyat. Demikian pemerintah Belanda sangat tidak sungguh-sungguh mengumumkan semua penelitian saya. Mereka bahkan tidak bereaksi. Mereka sendiri mempunyai penelitian resmi tetapi hasil penelitian itu memakan waktu bertahun-tahun. Dan mengapa? Sebab mereka tidak gembira tentang hasil, sebab itu akan sangat memusingkan kedua negara” (Lihat: Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program, first broadcasting, 17 April 2001).
C. RESOLUSI PBB TENTANG HASIL PEPERA 1969
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang New Guinea Barat (Irian Barat). Draf Resolusi PBB No. A./L.574 dari Belgium, Indonesia, Malaysia dan Thailand:
Sidang Umum:
Mengingat resolusi 1752 (XVII) 21 September 1962 menerima perjanjian antara Republik Indonesia dan Belanda berhubungan New Gunea Barat (Irian Barat), peran atas Sekretaris -General dalam perjanjian dengan menggunakan dan untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya,
Mengingat juga keputusan 6 Nopember 1963 menerima laporan Sekretaris-General penyelesaian UNTEA dI irian Barat,
Mengingat lebih lanjut, bahwa persiapan-persiapan untuk pelaksanaan pemilihan bebas adalah tanggung jawab Indonesia untuk menasihati, membantu dan partisipasi dari perwakilan khusus Sekretaris-General, sebagai mana ditentukan dalam Perjanjian,
Menerima laporan hasil-hasil pelaksanaan pemilihan bebas yang disiapkan oleh Sekretaris-General sesuai dengan pasal XXI, pragrap 1 menyetujui Perjanjian dan hasil-hasilnya,
Mengingat, sesui dengan pasal Perjanjian XXI paragrap 2, dua negara mengakui
hasil-hasil ini.
Menerima bahwa Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan rencana pembangunan nasional, memberikan perhatian khusus untuk pengambangan Irian Barat, mengingat keadaan penduduk, dan bahwa Pemerintah Belanda, bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia, akan melanjutkan untuk memberikan bantuan keuangan untuk tujuan ini, khususnya melalui Bank pembangunan Asia dan lembaga-lembaga PBB.
1. Menerima Laporan Sekretaris General menyatakan dengan penghargaan bahwa penyelesaian oleh Sekretaris General dan perwakilannya dari tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka dibawah perjanjian 1962 antara Indonesia dan Belanda;
2. menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui Bank Pembangunan Asia, melalui lembaga-lembaga PBB atau melalui orang-orang lain kepada Pemerintah Indonesia dalam usaha untuk meningkatkan ekonomi dan sosial Irian Barat; (lihat: United Nations General Assembly: A/L.574, 12 November 1969, seventy-fourth session, Agenda item 98).
Dari Ghana mengamandemen draf Resolusi yang disampaikan oleh Belgium, Indonesia, Luxemburg, Malaysia, Belanda dan Thailand: (A/L.574).
1. Menggantikan peranggap keempat pembukaan sebagai berikut:
Menerima laporan pekerjaan terakhir Sekretrais-General perwakilannya di Indonesia sesuai Perjanjian.
2. Menggantikan paragrap kelima pembukaan sebagai berikut:
Mengingat kepentingan dan kesejahteraan rakyat Irian Barat seperti dinyatakan dalam pembukaan Perjanjian.
3. Memasukan paragrap baru keenam pembukaan bacanya sebagai berikut:
Lebih lanjut mengingat pasal XVIII Perjanjian dan sebaliknya, menyebutkan untuk pelaksanaan pemilihan bebas sesuai dengan praktek internasional,”
4. Memasukan paragrap baru ketujuh pembukaan bacanya sebagai berikut:
“Menegaskan, melanjutkan perhatian PBB sesuai tujuan Perjanjian,”
5. Pada akhir paragrap pembukaan, menghilangkan kata-kata “Bank Pembangunan Asia dan”
6. Menggantikan paragrap 1 yang berlaku sebagai berikut:
“1. Menerima laporan Sekretaris-General dan perwakilannya dalam usaha-usaha untuk memenuhi tanggungjawab mereka di bawah Perjanjian 1962 antara Indonesia dan Belanda,”
7. Memasukan paragrap 2 yang baru berlaku sebagai berikut:
“2. Memutuskan bahwa Rakyat Irian Barat hendaknya diberikan kesempatan lebih lanjut, akhir tahun 1975 untuk melaksanakan pemilihan bebas sesuai dengan Perjanjian;”
8. Menempatkan kembali, paragrap 2 sebagai berikut:
“3. Menghargai beberapa bantuan yang disediakan melalui lembaga-lembaga PBB untuk menambah usaha-usaha pemerintah Indonesia demi meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial di Irian barat” (Lihat: United Nations General Assembly: A/L.576, 19 November 1969, Twenty-fourth session, Agenda item, 98).
Dalam kaitan dengan pengungkapan rekayasa PEPERA 1969 ini, Dr. John Saltford dalam penelitiannya di Markas Besar PBB di New York, dengan Judul “ UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN ( INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969” mengungkapkan dokumen-dokumen signifikan tentang pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak demokratis di Papua.
Langganan:
Postingan (Atom)