Selamat Berkunjung Di Blog Forkompas

Rabu, 02 Mei 2012

Membaca Kekerasan antarwarga Papua

Membaca Kekerasan antarwarga Papua


Pada mulanya hanyalah pertikaian antar-pemuda yakni pemuda lokal Sentani dan pemuda pendatang Papua asal pegunungan tengah di arena permainan bilyar Pasar Lama Sentani, Kabupaten Jayapura. Pertikaian itu dimulai dengan tuduhan Laringen Kogoya (20) terhadap Evan Felle (17) dan Ricky Felle (17) mengambil uangnya Rp 5.000. Akibatnya Laringen dianiaya oleh keduanya. Laringen segera lari mencari bantuan teman dan kerabat yang sesama dari gunung. Tanpa melihat duduk masalahnya, rombongan orang gunung ini menyerbu lokasi bilyar, mencoba menyerang rumah Ondoafi Felle, dan pagi harinya menyerang pemukiman sekitarnya (Kompas.com, 24 Agustus 2009).

Untungnya polisi dan TNI, dengan bantuan Pdt. Lipiyus Biniluk, berhasil mendamaikan kedua pihak yang bertikai. Korban dari masing-masing kelompok sudah dibawa ke rumah sakit. Satu orang dari pihak Gunung tertembak di paha. Para pimpinan dari masing-masing pihak sudah dipertemukan oleh polisi untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai. Bahkan kedua pihak juga membantu polisi dengan menyerahkan para pelaku kekerasan. Pada saat yang sama Ondoafi menuntut ganti rugi Rp 1 milyar sebagai ganti penyerangan yang dilakukan oleh kelompok Gunung.

Menarik untuk melihat solidaritas mekanis di kalangan orang Gunung (juga warga Papua lainnya) yang masih sangat kuat. Jika ada satu orang warga mereka meminta bantuan karena mendapatkan penyerangan, warga (teman atau kerabat sesuku) lainnya segera membela tanpa mempertanyakan duduk perkaranya. Salah atau benar pihak yang dibela, itu akan diurus belakangan. Parahnya lagi, kelompok penyerang biasanya tidak hanya mencari dan menyerang pelakunya secara khusus, tetapi juga teman, saudara, atau kampung pelakunya. Itu sebabnya rumah Ondoafi Felle dan pemukiman sekitarnya juga diserang.

Ada perasaan bahwa jika satu warga disakiti, warga yang lain juga merasa sakit. Oleh sebab itu apa pun duduk perkaranya tidak penting, yang utama adalah membela dulu. Begitu pula cara membalasnya, kalau kelompok penyerang tahu identitas asal, klen atau suku pelaku penganiayaan, maka mereka juga menganggap teman, saudara atau kerabat, atau bahkan tetangga pelaku juga ikut bertanggungjawab. Sehingga mereka juga menjadi sasaran penyerangan. Sudah banyak terjadi di Jayapura, misalnya, satu Bugis memukul satu Papua asal Sentani, akibatnya seluruh orang Bugis di sekitarnya menjadi sasaran pembalasan. Dengan cara berpikir seperti ini, perkelahian perseorangan di Papua dapat dengan mudah menjadi pertikaian massal.

Setelah korban berjatuhan dan pertikaian mereda, baru dibicarakan duduk perkaranya dan penyelesaian perkaranya. Di dalam adat orang gunung, jika pertikaian itu terjadi di dalam satu konfederasi (konflik internal), penyelesaian dilakukan dengan membayar denda. Kalau itu dengan musuh, ya perang suku. Pada jaman ini, definisi “musuh” sudah mulai luntur. Secara umum, kebiasaan untuk menuntut dan membayar denda berlaku di banyak tempat di Papua. Pada kasus ini Ondoafi Felle menuntut Rp 1 milyar dengan alasan menyerang ondoafi. Di Timika, kalau ada kekerasan hingga luka atau nyawa melayang dendanya juga mencapai ratusan juta atau hingga milyaran juga. Dengan denda, dan bukan hukuman badan, suatu pertikaian dianggap berakhir. Seakan-akan keadilan tradisional sudah ditegakkan.

Pertumbuhan kota dan perkembangan wilayah di Tanah Papua mendorong migrasi baik internal Papua maupun dari luar Papua. Interaksi antara warga lokal Papua dengan pendatang Papua dan non Papua juga semakin intensif. Persinggungan, konflik kepentingan, masalah penggunaan lahan, dan bahkan cekcok kecil di tempat hiburan selalu berpotensi menjadi alasan tindak kekerasan secara massal. Khusus untuk migrasi warga asli Papua pegunungan ke daerah dataran rendah dan pesisir yang menjadi pusat kabupaten atau kotamadya atau wilayah yang ekonominya berkembang mulai meningkat sekitar 1980-an. Wilayah pinggiran Nabire, Timika, dan Jayapura sudah diokupasi oleh banyak warga Papua asal pegunungan. Mereka bertahan hidup dengan menduduki “tanah kosong” dan membangun kebun dan kampung di sana.

Sudah banyak cerita konflik antara warga Papua pendatang asal pegunungan berkonflik tidak hanya dengan warga Papua asli atau warga setempat, tetapi juga warga pendatang non-Papua. Untuk itu memang diperlukan antisipasi untuk mencegah konflik dan kekerasan horisontal. Kalau tidak, banyak pihak bisa memanfaatkannya dengan mudah untuk kepentingan ekonomi tertentu atau politik tertentu berkaitan dengan Pilkada, Pileg, atau kepentingan politik lainnya. Betapa tidak mudah, cukup dengan memukul atau melukai satu orang saja dan pelakunya menyebut diri dari suku tertentu dan lari, maka pembalasan akan datang dengan sendirinya ke suku yang dimaksud. Ini ruang yang lebar untuk adu domba.

Di sini letak pentingnya peran Gereja dan organisasi masyarakat sipil untuk mengembangkan kepemimpinan lokal masing-masing dan membuat forum yang memberi ruang bagi setiap orang untuk klarifikasi dan pengaduan. Mekanisme itu dibutuhkan untuk mencegah setiap warga dan kelompoknya untuk main hakim sendiri. Setiap provokasi tindak kekerasan bisa segera dilokalisir menjadi urusan individu dan mencegah pelibatan kelompok yang lebih besar. Polisi biasanya sebagai tempat pengaduan terakhir ketika peristiwanya sudah meledak dan korban sudah jatuh. Dalam kasus Sentani tersebut di atas, kepolisian dan Gereja sudah menjalankan tugasnya dengan baik sebagai instrumen kuratif konflik horisontal.

( Sesama Papua berbagi bunga, simbol antikekerasan, oleh Tim Forkompas)