Tabel Penyiksaan
Juli 2010-Juni 2011 dan Juli 2011 - Juni 2012
Pelaku Tahun 2011 Tahun 2012
Korban Peristiwa Korban Peristiwa
Polisi 31 21 118 60
TNI 18 7 64 14
Sipir - - 61 12
Jumlah 49 28 243 86
Dari tabel di atas, beberapa hipotesa yang bisa diambil adalah : Pertama, terjadi jumlah korban dan dugaan praktik penyiksaan yang begitu menonjol di Papua bila dibandingkan dengan daerah lainnya, terdapat 11 peristiwa penyiksaan di Papua dengan 98 orang korban. Jumlah dugaan praktik penyiksaan di Papua ini kuat berkorelasi dengan memanasnya situasi politik dan meningkatnya intensitas kekerasan secara umum di sana selama setahun terakhir. Mereka yang menjadi korban umumnya adalah penduduk asli Papua dan menganggap mereka menjadi korban salah tangkap dan penahanan semena-mena yang dilakukan oleh aparat keamanan. Hal ini memperkuat stigmatisasi dan diskriminasi hingga mengkriminalisasi terhadap orang Papua.
Kedua, praktik penyiksaan umumnya terjadi dalam situasi di mana posisi korban begitu tidak berdaya terhadap pelakunya; situasi yang umum terjadi di ruang tahanan yang tertutup. Situasi ini semakin buruk ketika si korbannya merupakan warga biasa -yang menjadi tersangka suatu kejahatan- mewakili struktur masyarakat kelas bawah. Hal ini juga terjadi di Indonesia di mana kebanyakan mereka yang diduga menjadi korban penyiksaan adalah para tersangka kriminal atau narapidana yang berasal dari kelompok awam (menjadi musuh opini publik seperti teroris, pengedar narkoba, separatis, dan lainnya) dan seringkali tidak didampingi oleh pembela hukum. Hingga kini monitoring KontraS belum menemukan adanya dugaan praktik penyiksaan untuk tersangka pelaku korupsi yang umumnya merupakan pejabat negara atau pengusaha kaya.
Situasi ini menegaskan pentingnya kebutuhan segera untuk menghentikan tindakan penyiksaan serta membuat aturan-aturan yang dapat mencegah terjadinya penyiksaan. Terhadap hal tersebut di atas, KontraS merekomendasikan kepada :
• Pemerintah dan DPR RI harus mempercepat pembahasan RUU Perubahan KUHP dan KUHAP atau menyusun suatu RUU Anti Penyiksaan tersendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan regulasi mendesak bagi upaya mengkriminalisasi tindak penyiksaan ;
• Institusi negara yang relevan seperti TNI, Polri, dan Kementrian Hukum dan HAM (yang membawahi sistem penjara dan tahanan di Indonesia) memastikan penghukuman yang maksimal kepada pelaku hingga memberikan efek jera serta harus menerapkan suatu mekanisme vetting secara internal bagi aparat, petugas, atau pejabatnya yang melakukan, memerintahankan, atau membiarkan terjadinya praktik penyiksaan;
• Institusi negara yang memiliki mandat melakukan fungsi pemantauan atau pengawasan yang independen (independent external oversight bodies), seperti Komnas HAM, Ombudsman, atau Kompolnas juga bisa menerapkan mekanisme vetting untuk mempersempit ruang gerak pelaku penyiksaan;
• Pemerintah harus bisa menghentikan praktik penyiksaan yang didasari pada pola stigmatisasi dan diskrimnasi yang terjadi di Papua mengingat meningkat tajamnya praktik penyiksaan di wilayah tersebut akan memperburuk situasi Papua yang sedang bermasalah;
• Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dan Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan;
• Pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang berbagai kebijakan negara yang memfasilitasi praktik penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.