Masih Rendahnya Partisipasi Publik dalam Mendorong Agenda HAM di Indonesia
Pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh pada
tanggal 10 Desember nanti, KontraS telah mempersiapkan catatan pendek
seputar performa penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Diharapkan, catatan pendek ini bisa memperkaya dan memberi masukan
kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan- dan publik luas tentang
pentingnya membangun partisipasi publik dalam agenda politik HAM
Indonesia ke depan. Partisipasi publik ini kemudian akan menjadi alat
ukur transparansi, akuntabilitas dan tentu saja dapat memberikan
apresiasi kepada para aparat negara dalam menjalankan tugas-tugasnya
secara profesional.
Partisipasi publik menjadi tema yang dipilih oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam peringatan universal tahun ini, dan KontraS mencoba
menggunakan ukuran partisipasi publik dalam menganalisa beberapa isu HAM
krusial yang mendapat perhatian publik luas. Ukuran lainnya seperti
pendekatan pemulihan, progresivitas perlindungan HAM dan kebijakan
non-diskriminasi juga menjadi pertimbangan signifikan yang akan
digunakan dalam catatan ini.
Sepanjang tahun 2012 agenda penegakan HAM masih belum menjadi prioritas
utama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Meski di tahun ini ada 3
instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia; pertama, Konvensi Internasional tentang perlindungan Hak-Hak
Seluruh pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan 2 Protokol Opsional
Konvensi Hak Anak, yang terdiri dari Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak
Anak Mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata serta Protokol
Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak, dan mulai
berlakunya Deklarasi HAM ASEAN (meskipun sifatnya tidak mengikat secara hukum dan masih memiliki kelemahan konteks dari sisi universalisme HAM);
namun pemerintah terkesan masih belum memiliki agenda perlindungan HAM
yang jelas dan transparan. Khususnya untuk menjamin perlindungan hak-hak
sipil dan politik di masa depan.
KontraS mencatat sepanjang setahun ini beberapa kasus HAM yang serius
dan menonjol akibat masih diterapkannya kebijakan represif telah banyak
membatasi hak-hak asasi rakyat. Tidak hanya itu, pengabaian dan
pembiaran potensi kekerasan, serta masih digunakannya pendekatan
keamanan yang tinggi di beberapa wilayah sensitif di Indonesia juga
menunjukkan belum adanya perubahan fundamental yang bisa dijadikan
momentum koreksi birokrasi dalam memberikan jaminan perlindungan HAM
yang lebih konkret. Parahnya lagi, ada semacam kecenderungan untuk
melegalisasikan praktik-praktik otoritarian dan kesewenang-wenangan gaya
baru, yang berpeluang untuk digunakan dalam agenda kontestasi Pemilu
2014.
Oleh karena itu, KontraS membuat daftar persoalan HAM yang mengancam
hak-hak fundamental warga Indonesia. Daftar dan penjabarannya ini bisa
dikembangkan menjadi diskursus publik bersama, dalam rangka memajukan
pemahaman berdemokrasi dan HAM yang lebih baik.
Meluasnya konflik sosial dan ketiadaan jaminan rasa aman warga
Di tahun ini tren kekerasan horizontal dan konflik komunal meningkat
drastis. Setidaknya terdapat 32 kali bentrokan warga รข€“selain dari
kasus persekusi dan aksi tawuran pelajar dan mahasiswa-. Ketegangan
konflik juga tidak lagi didominasi oleh ‘area-area merah’ yang dikenal
luas memiliki sumbu konflik yang khas, seperti Aceh, Papua, Poso dan
Ambon. Namun peta sebaran wilayah konflik ini juga merambat pada
wilayah-wilayah yang memiliki banyak sumber daya alam ataupun memiliki
tingkat perpaduan migrasi dan struktur sosial yang berbeda. Konflik
komunal yang terjadi di Lampung, Kutai Barat, Sigi, dan lain-lain bisa
diidentifikasi dari pendekatan aktor berbasis teritorial, isu identitas
sosial dan budaya, pilkada, dan lain sebagainya.
Pemicu-pemicu lain yang muncul bisa dirunut dari hal-hal berikut,
seperti mis-komunikasi pada isu sengketa lahan-termasuk juga dengan
model kebijakan pembangunan yang tidak berimbang, ketidakpuasan warga
atas praktik penegakan hukum, peristiwa-peristiwa kriminal, beredarnya
pesan-pesan provokatif dan dendam-dendam konflik lama yang belum
tertuntaskan.
Hal krusial namun belum pernah direalisasikan oleh pemerintah adalah
menyiapkan sistem deteksi dini yang harus terus diperbaharui. Sistem ini
harus tersusun dari informasi-informasi sosial, budaya, ekonomi, dan
politik yang khas di masing-masing wilayah Indonesia.
Di samping itu, kebijakan baru pemerintah melalui Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di sektor sumber
daya alam juga bisa memicu meluasnya praktik pelanggaran HAM di banyak
daerah. Tipologi konflik yang terjadi adalah antara perusahaan dengan
masyarakat yang tinggal di area SDA tersebut. Model pembangunan yang
ingin mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional ini akan banyak
menempatkan rakyat sebagai pihak yang dieksklusikan dari pembangunan dan
jauh dari perlindungan hukum. Selain itu, tentu saja pendekatan
keamanan menjadi panglima untuk mengatasi perselisihan. Lihat dalam
kasus Mesuji, Pelabuhan Sape, Rokan Hulu, Pulau Romang Maluku, Padang
Halaban, Sei Mencirim dan lain sebagainya.
Masih minimnya jaminan perlindungan kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah
Kekerasan yang dulu banyak dialami oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia
(JAI), kini mulai menjalar kepada kelompok minoritas Kristiani (HKBP),
dan akhir-akhir ini juga menyerang Syiah di Sampang Madura.
Tuduhan-tuduhan yang menjurus pada politik diskriminasi, kemudian
menjadi pemicu bola salju kekerasan struktural yang mereka alami.
Ketidakmampuan negara dalam meredam kekerasan yang diarahkan kepada
kelompok-kelompok minoritas keagamaan dan keyakinan, juga diperburuk
dengan sikap acuh tanpa solusi. Warga Sampang yang beraliran Syiah kini
tinggal di barak pengungsian sejak pengusiran dilakukan pada Bulan
Januari 2012 dan kriminalisasi keyakinan kepada Ustad Tajul
Muluk-pemimpin kelompok Syiah- yang dituduh telah menyebarkan aliran
sesat.
Tidak hanya itu sumber-sumber penghidupan warga yang seharusnya mereka
dapatkan di lokasi pengungsian kini mulai dihentikan. Tercatat sejak
awal November 2012 pemerintah Kabupaten Sampang telah menghentikan
bantuan makan siap konsumsi, dengan dalih kehabisan dana penanggulangan
pengungsi. Kondisi menyedihkan serupa juga masih dialami pengungsi
Ahmadiyah di Transito, Mataram. Dalam isu anti-Ahmadiyah, pelarangan
penyelenggaraan ibadah Salat Idul Adha tahun ini di Kota Bandung oleh
kelompok-kelompok Islam fundamentalis juga menjadi preseden yang amat
kami sesalkan. Tuduhan aliran sesat juga berhembus di Provinsi Aceh.
Kasus yang menimpa Tengku Aiyub Syakubat di Bireun merupakan salahsatu
kasus serius yang tetap harus ditindaklanjuti dalam proses penegakan
hukumnya.
Potensi ancaman kriminalisasi warga melalui ruang legislasi keamanan
2012 juga ditandai dengan pengesahan dan pembahasan intensif sejumlah
produk legislasi di bidang keamanan. Sejak UU Nomor 17 Tahun 2011
tentang Intelijen Negara disahkan, menyusul UU Nomor 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial, publik kemudian dihadapkan pada
konteks pengaturan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul melalui
Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, konsep sistem
keamanan nasional melalui Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional, dan
rencana amandemen UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Kebijakan-kebijakan legislasi ini sama sekali tidak
memiliki perspektif demokrasi, rule of law, HAM dan potensial mengurangi
hak-hak konstitusional warga negara Indonesia.
Otoritas pembuat kebijakan menempatkan keamanan sebuah situasi yang
berseberangan dengan konsep hak asasi manusia. Padahal, dalam elemen
HAM, keamanan dan rasa aman menjadi hal esensial yang dibutuhkan oleh
setiap warga negara. Tanpa pengecualian. Lebih lanjut, dalam HAM,
terdapat rumpun hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun (non-derogable rights), termasuk
dalam kondisi kedaruratan sebuah negara. Jikapun harus dikurangi, maka
sifat pengurangannya harus amat ketat, limitatif dan mendapat kontrol
pengawasan yang maksimal dari parlemen (diatur dalam Prinsip-Prinsip
Siracusa, 1995).
Kasus-kasus kriminalisasi hingga berujung pada ancaman teror kematian
yang dihadapi jurnalis, aktivis buruh, petani dan aktivis lingkungan
yang aktif mengadvokasi isu-isu HAM sensitif bisa menjadi contoh konkret
dari implementasi model kebijakan semacam ini. Lebih jauh, pemerintah
maupun otoritas pembuat kebijakan juga sepertinya tidak membuat
prioritas legislasi. Agenda amandemen Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer hingga kini tidak jelas nasibnya.
Proyek anti-teror yang tidak pro-HAM
Dari pemantauan KontraS intensitas operasi anti-terorisme dilakukan
sejak bulan Januari 2012 untuk 35 operasi penindakan di sejumlah daerah,
mulai dari Aceh, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa
Timur, Bali, NTB, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Meskipun skup
operasi penindakan berlangsung luas, tapi ada beberapa preseden
penindakan yang dilakukan secara intensif, khususnya pada kasus Teror
Solo dan operasi penegakan hukum di Poso. Pada kasus Teror Solo, target
yang disasar oleh kelompok radikal ini adalah para aparat kepolisian.
Skala kekerasan mulai mengerucut jelang Idul Fitri Agustus 2012.
Beberapa pos keamanan polisi menjadi target sasaran dari kelompok ini.
Sedangkan pada konteks eskalasi teror dan kekerasan sejak pertengahan
Agustus 2012, KontraS turut serta melakukan pemantauan di lokasi
kejadian, khususnya di beberapa kota seperti Kota Poso, Dusun Tamanjeka
(Poso Pesisir) dan Desa Kalora (Poso Pesisir Utara). Hingga 4 November
2012, KontraS mencatat operasi anti-teror ini telah menangkap 25 orang,
di antaranya 2 orang tewas tertembak saat operasi berlangsung dan 3
orang dibebaskan karena tidak terbukti.
Penanganan kasus terorisme di Poso bukan pertama kali, pada tanggal
11-22 Januari 2007, Mabes Polri menggelar operasi penegakan hukum dengan
sandi Lanto Dago untuk menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat
aksi kekerasan di Poso. Meskipun polisi menyatakan berhasil menangkap
beberapa orang yang menjadi target operasi namun fakta dilapangan
menunjukkan adanya ketidak profesionalan Polri dalam melakukan penegakan
hukum. KontraS menemukan sejumlah 25 orang yang bukan target operasi
ditangkap dan disiksa, 15 warga sipil dan 2 anggota kepolisian tewas
dalam operasi tersebut.
Setidaknya dalam setahun ini (hingga November 2012) dari gelaran operasi
anti-terorisme sebanyak 7 orang tewas, 36 orang masih ditahan, dan 9
orang dilepaskan kembali.
Absennya kriminalisasi terhadap kejahatan penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang lainnya
Dalam catatan KontraS, selain menggunakan teknik penyiksaan untuk
mendapatkan pengakuan/keterangan dari korban yang tidak berdaya, model
penyiksaan juga kerap dipraktikkan pada konteks penanganan
kelompok-kelompok politik di wilayah sensitif, seperti di Papua.
Dalam kasus yang dialami Panius Kogoya dan Ekimar Kogoya (31/08), sebuah
laporan independen yang dikeluarkan oleh Tabloid Jubi menyatakan bahwa
tim gabungan TNI dan Polri telah melakukan tindak penangkapan
sewenang-wenang dan tentu saja penyiksaan. Pihak polisi membantah adanya
penyiksaan, namun setelah ada kunjungan tokoh Gereja Baptis dan
komisioner anggota Komisi HAM Papua, 13 orang dibebaskan dan 2 orang
tetap ditahan (Panius Kogoya dan Ekimar Kogoya).
Kasus yang menimpa Pendeta Frederika Metalmeti, di Kabupaten Boven
Digoel, Papua, ditemukan tewas dengan luka tembak di pelipis kiri
(22/11). Di sekitar TKP juga ditemukan selongsong peluru kaliber 4,5
milimiter, helm, tas, dan sandal yang diduga milik korban.
Kasus Jumhuni juga menarik untuk kembali diangkat. Penjual gorengan ini
ditangkap dan ditahan sewenang-wenang selama 9 hari di kantor Polres
Serang, dengan didahului tuduhan pencurian. Ia disergap 2 orang anggota
polisi berpakaian sipil untuk dibawa ke dalam mobil, dipukuli dengan
mata tertutup dan disetrum beberapa kali.
Dalam kasus Sun An dan Ang Ho, terpidana seumur hidup untuk tuduhan
pembunuhan berencana yang ditangani KontraS sejak 1September 2012,
selama proses hukum didapati sejumlah keganjilan; terdapat praktik
penyiksaan polisi kepada keduanya pada proses pemeriksaan (BAP); polisi
memaksakan keterangan kepada kedua tersangka untuk mengakui sebagai
pelaku dan otak pembunuhan; proses hukum berjalan sangat cepat; ada
upaya pemerasan oleh penyidik kepada keluarga; persidangan di Pengadilan
Medan dilakukan tanpa menghadirkan dan membuktikan pelaku lapangan
maupun hasil labfor uji balistik.
VI. Lambannya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu
Agenda penuntasan kasus masih berjalan di tempat. Belum ada perubahan
signifikan selain dipublikasikannya Ringkasan Eksekutif Komnas HAM pada 2
penyelidikan peristiwa 1965/1966 dan Penembakan Misterius yang terjadi
pada medio 80an. Selain itu, hingga kini belum ada gelagat tindak lanjut
pengesahan Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa pasca penandatanganan Konvensi yang dilakukan Menteri
Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa 27 September 2010 di Markas PBB
New York, Amerika Serikat.
Padahal dalam 2nd Cycle Universal Periodic Review (UPR)
PBB untuk sesi Indonesia yang dilakukan pada 23 Mei 2012, banyak
dukungan yang diberikan oleh komunitas diplomat internasional untuk
menyegerakan proses ratifikasi dan realisasi agenda akuntabilitas
penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Menariknya, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengeluarkan
surat resmi klarifikasi sebanyak 2 kepada Presiden RI. Surat pertama
dilayangkan pada 15 Mei 2012 dan surat II pada 6 Agustus 2012, di mana
inti dari kedua surat tersebut menyatakan bahwa pemerintah telah
melakukan penundaan pelayanan berlarut-larut (undue delay) dalam
penuntasan kasus penghilangan prang secara paksa 1997-1998. Menurut
ORI, tindakan ini merupakan bentuk perbuatan maladministrasi dan
mengingkari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Enam catatan problem HAM di atas seharusnya tidak akan menjadi pekerjaan
rumah yang terus berulang pemerintah, apabila pemeritah konsisten untuk
membuat terobosan-terobosan penting dalam agenda penegakan hukum dan
HAM. Untuk itu, KontraS membuat rekomendasi ringkas sebagai berikut:
Pertama, prioritaskan
urusan penegakan hukum dan HAM melalui agenda-agenda keadilan yang
melibatkan partisipasi publik. Dalam hal ini, SBY dan Boediono dituntut
kreatif dan inovatif untuk memprakarsainya.
Kedua, Presiden
SBY harus menyegerakan agenda kebenaran dan keadilan. Keluarga korban
masih menanti kinerja Tim Kecil Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Masa Lalu di bawah koordinasi Menkopolhukam. Tim ini seharusnya
memproses secara hukum pelanggaran HAM masa lalu yang berjalan di
tempat. Temuan Komnas HAM pada kasus 1965/1966 dan penembakan misterius
adalah terobosan besar. Negara tidak boleh abai dan meninggalkan hasil
penyelidikan tersebut hanya sebagai artefak sejarah belaka. Dalam
konteks melawan impunitas, KontraS mendorong segera agenda pengesahan
Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan
Paksa dan pengesahan Statuta Roma di tahun 2013.
Ketiga, dorong
proses dialog, rekonsiliasi, dan model pembangunan dengan pendekatan
perdamaian di wilayah-wilayah sensitif. Isu ekonomi tidak boleh
mengeksklusi kelompok-kelompok minoritas akses. Mereka harus diberikan
ruang untuk berpartisipasi dan dilibatkan dalam pengambilan
keputusan-keputusan penting yang melibatkan hak-hak fundamental rakyat.
Keempat, para
petinggi jajaran sektor keamanan, mulai dari Panglima TNI, Kapolri,
Kepala BIN, Jaksa Agung dll harus membuat terobosan penting dalam
mendorong profesionalisme dan akuntabilitas para aparatnya. Di lain
sisi, para pembuat kebijakan juga harus peka dengan isu-isu sensitif
keamanan. Pengesahan RUU Keamanan Nasional dan RUU Organisasi
Kemasyarakatan mampu mencederai rasa keadilan dan aman publik di masa
depan.
Semoga catatan dan pesan HAM ini mendorong perubahan penting di
tahun-tahun ke depan. Mari kita bersama bekerja dan menghormati HAM
dengan rasa kemanusiaan yang setinggi-tingginya.
Sri Suparyati, Deputi I Koordinator
Puri Kencana Putri, staf Biro Penelitian
Sinung Karto, Kadiv Advokasi Hukum dan HAM
Muhammad Daud. B, Staf Pemantauan Impunitas