Foto. saat demo di Inggris tolak pembangunan penyingkiran orang papua London 02 Desember 2012.
Indonesia Negara Gagal, Tak Mungkin Bangun Papua Tuesday, 04-12-2012 20:03:42 Oleh Forkompas Telah Dibaca
Membaca beberapa laporan media yang mengangkat tema Indonesia negara
gagal, sangat mengganggu pikiran saya. Bisakah negara yang gagal ini
membangun Papua, terutama dengan beberapa kebijakannya belakangan ini?
tapi ini juga melegitimasi pikiran rakyat P apua yang selalu
menyatakan Indonesia gagal bangun Papua atau yang belakangan Otsus
dikembalikan karena dinilai gagal dalam penerapannya.
Media
okezone online pada Rabu 20 Juni 2012, melaporkan bahwa dari 178 negara
di dunia Indonesia menempati urutan ke 63 negara gagal di dunia
(baca:[1]. Hal yang sama diberitakan juga oleh media Kompas online pada
Kamis 21 Juni 2012. Penilaian ini dilakukan oleh The Fund of Peace
(FFP). Menurut mereka, pemerintahan SBY-Budiyono gagal memberikan rasa
aman dan nyaman bagi rakyatnya. Misalnya, lemahnya pemerintah dalam
menjaga kerukunan antar umat beragama, ketidakmampuan pemerintah dalam
menegakkan hukum dan HAM dan menjamurnya korupsi[2].
Adalah hal
yang tidak logis, jika Jakarta yang dinilai gagal ingin membangun
Papua. Lihat saja, Jakarta yang seharusnya menjadi barometer
kesejahteraan justru menyimpan seribu satu macam masalah kemiskinan dan
penderitaan. Banyak anak-anak jalanan, pengemis, dan preman yang
menghiasi kota itu. Progam sentralisasi pembangunan dimasa orde baru
yang seharusnya mensejahterakan rakyat yang hidup di ibu kota, justru
diabaikan negara, apalagi dengan mereka yang hidup jauh dari ibu kota
negara itu.
Sistem sentralisasi telah benar-benar menguras
sumber-sumber hidup rakyat di daerah. Jutaan rakyat menderita dalam
kemiskinan. Belum lagi tekanan negara melalui militer yang benar-benar
mematikan. Sumber-sumber hidup rakyat dirampas dengan kekuatan militer.
Yang melawan jadi tumbal. Akhirnya terjadi jutaan kasus pelanggaran HAM
yang belum diselesaikan oleh negara hingga hari ini. Korupsi pun tumbuh
dengan suburnya bak jamur dimusim hujan. Mungkin benar lelucon ini “mana
mungkin maling berteriak maling”. Atau, kalau negara adalah pelakunya
mana mungkin ia mengadili dirinya sendiri, malu dong! Kalau pun ada
proses hukum, itu hanya rekayasa untuk menutup sedikit rasa malunya.
Papua yang dianeksasi melalui kebijakan Trikora sejak 1962, telah
mengalami penderitaan yang cukup panjang. Penderitaannya barangkali
lebih berat dari daerah lain di Indonesia. Banyak pelanggaran HAM yang
dilakukan negara di Papua. Para pelakunya dibiarkan bebas oleh negara,
karena katanya dilakukan atas nama negara. Banyak kekayaan alam telah
dieksploitasi dari daerah ini, namun para pemilik ulayatnya dibiarkan
hidup menderita. Tak secuil pun manfaat yang dirasakan oleh orang asli
Papua. Mungkin karena perbedaan ras dan agama? atau karena niatan ingin
menguras semua kekayaan alam demi kesejahteraan kaum borjuis, imperialis
dan neo-kolonialis atas nama negara.
Memoria passionis telah
meninggalkan rasa tidak percaya orang asli Papua terhadap Jakarta. Semua
bentuk kebijakan negara pada arasnya tak membangun. Kebijakannya
seperti menabur benih diatas batu, tak ada hasilnya. Itulah sebabnya
Papua menilai Jakarta gagal membangun Papua. Jakarta gagal
mengindonesiakan Papua. Padahal katanya Papua dimasukkan ke dalam NKRI
dengan tujuan membangun kesejahteraan seperti yang tertuang dalam isi
UUD 1945.
Setelah Reformasi, pemerintah Jakarta memaksa
menerapkan Otsus di Papua. Otsus dihadirkan untuk mematahkan semangat
ingin merdeka (pisah dari NKRI) dari Orang asli Papua. Tapi disisi lain
Otsus mungkin niat Jakarta untuk membayar lunas dosa-dosanya. Tapi
sayang! Ia tidak menjadi obat yang mujarab untuk Papua. Ia justru
menjadi semacam racun yang mematikan secara perlahan-lahan. Lihat saja!
Pelanggaran HAM masih terus terjadi, Theys Hiyo Eluay adalah salah satu
korban dari kebijakan ini. Disisi lain rakyat dikondisikan untuk saling
membenci dan membunuh. Perhatikan kasus di Kwamki Narama Timika yang
belum berakhir hingga hari ini sampai kepada konflik Pilkada yang
menelan korban jiwa di Ilaga Puncak Papua.
Kebijakan UP4B yang
belakangan dihadirkan di Papua pasca pengembalian Otus oleh OAP pun tak
bisa membangun Papua. Katanya, itu adalah unit yang mempercepat
pembangunan di Papua. Tapi pada kenyataannya ia menjadi jerat yang
membungkam suara-suara nurani rakyat kecil yang merasa diperlakukan
tidak adil. Yang merasa mereka dijajah. Akhirnya Musa Mako Tabuni
menjadi korban kebijakan ini. Kematiannya dipercepat oleh kebijakan UP4B
oleh negara. Negara mencabut nyawanya untuk mematikan bangkitnya
semangat protes kaum kecil, kaum yang terjajah yang selalu dilihat
sebagai musuh oleh negara. Bahkan dianggap teroris oleh negara
belakangan ini[3]. Hal ini diperkuat lagi dengan digantinya Kapolda
Papua Irjen Tito Karnavian yang nota bene mantan Kadensus 88[4].
Anehnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono justru mengeluarkan
pernyataan bahwa Jakarta tak berencana merubah kebijakan keamanan di
Papua. Katanya, “Sejak tujuh tahun yang lalu, segera setelah saya
mengemban amanah menjadi Presiden di negeri ini, saya telah melakukan
pendekatan untuk penyelesaian masalah Papua. Yang dulu pendekatannya
mungkin bersifat kepada keamanan, setelah kita evaluasi nampaknya kita
pandang kurang tepat. Oleh karena itulah, kita ubah menjadi pendekatan
kesejahteraan demi keadilan, kesejahteraan, dan kemajuan saudara-saudara
kita di Papua dan Papua Barat.”[5] Saya menilai bahwa sikap pemerintah
seperti ini justru melegitimasi kelakuan aparat keamanan di Papua yang
selama ini bersikap sadis dan geram.
Dua kebijakan negara
diatas (Otsus dan UP4B) tak mampu mengangkat rakyat Papua dari
kemiskinan yang melilit hidup mereka. Dalam diskusi yang bertemakan Save
Papua Save Indonesia di Campus Center Institut Teknologi Bandung (ITB)
Jalan Ganeca, pada Jumat 31 Agustus 2012 lalu, terungkap bahwa 83,3%
rumah tangga di Papua masih hidup miskin. Mereka bahkan termiskin di
Indonesia[6]. Data yang lain menyebutkan bahwa 966, 76 ribu orang Papua
masih hidup dalam kemiskinan[7]. Pertanyaannya, inikah wujud kampaye
NKRI di dunia internasional bahwa Papua sedang di bangun? Memalukan.
Jika dalam skala negara ia dinilai gagal, bagaimana mungkin ia bisa
membangun Papua. Apalagi proses Pepera saja masih menjadi polemik antara
Papua dan Jakarta hingga kini.
Lalu apa solusinya? Pertanyaan
ini penting dan harus dipikirkan secara matang oleh kita semua. Bagi
saya sebagai bagian dari kaum kecil yang menderita, jawabannya sangat
sederhana, Merdeka (lepas dari NKRI). Alasannya juga sederhana,
Indonesia gagal bangun Papua dan akan terus gagal. Tapi saya sadar,
untuk mencapai impian itu butuh proses yang panjang. Tidak sesederhana
jawaban saya diatas. Sekali lagi, butuh proses, tapi apa prosesnya?
Referendum atau dialog. Entalah! Tapi butuh kematangan berpikir kita
semua, untuk mengeluarkan rakyat bahkan diri kita dari rasa tertindas
yang membelenggu.