Theo Hesegem: Sosok Pekerja HAM yang Gigih
Pada 1 September 2009 yang lalu, kawan lama dari Wamena, Theo Hesegem, yang sedang mengurus visa ke Hongkong, menemui saya. Dia selalu memanggil saya noe, yang artinya “kakak”. Pertemuan itu diisi dengan ceritera tanpa henti hingga akhirnya saya memintanya untuk menginap semalam di rumah saya di Cibinong. Kami berkenalan pertama kali di Wouma Wamena sekitar 15 tahun (1994) yang lalu di rumah Almarhum Yafet Yelemaken ketika saya membuat penelitian suku Dani Balim. Pada saat itu Theo yang masih belia sangat rajin membantu beberapa pekerjaan saya di lapangan.
Kini Theo (38 tahun) menjadi Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM (JAPH-HAM) Pegunungan Tengah, Papua, sejak 2004. Kegigihannya mengadvokasi korban pelanggaran HAM membuat dia sekarang menjadi salah satu aktivis HAM terkemuka di Papua. Sejumlah kasus sudah diinvestigasi dan diadvokasi, a.l. penyiksaan sampai mati Obeth Kossay pada 2007 oleh anggota Polres Jayawijaya dan penembakan kilat Opinus Tabuni oleh pelaku tak dikenal pada 2008. Setiap kasus yang dilaporkan kepadanya tanpa ragu ditelusuri langsung ke pihak polisi dan bahkan pihak militer. Tanpa ragu, dia sering mengkonfirmasi berita kekerasan yang diperolehnya langsung ke Kapolres, Dandim, atau bahkan Kapolda Papua.
Berbicara kepada media sebagai strategi advokasi dan kampanye HAM pun dilakukannya dengan relatif cerdas dan hati-hati. Dia bukan tipe aktivis HAM yang menuduh aparat keamanan sebagai pelaku pelanggaran HAM tanpa bukti-bukti yang memadai sekedar untuk popularitasnya. Dia selalu menjelaskan peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM dengan bersandar pada fakta-fakta yang dikumpulkan, menyusunnya secara teratur, dan berbicara kepada publik maupun pejabat terkait secara tenang dan terarah. Kemampuan ini jarang dimiliki oleh aktivis Papua pada umumnya.
Di mata masyarakat pegunungan tengah, khususnya Lembah Balim, yang menjadi saksi kegigihannya, Theo dianggap sebagai pelindung HAM dan sekaligus harapan bagi masyarakat yang merasa hak-haknya dilanggar oleh aparat. Pegunungan Tengah adalah hot spot politik gerakan separatisme di Papua. Pembela HAM seperti Theo selalu menghadapi risiko berbenturan dengan oknum aparat keamanan yang arogan. Oleh karena itu, dia juga pernah menjadi klien PBI (Peace Brigade International) pada 2005. Dengan kesabarannya membangun komunikasi, Theo kini justru berhasil membangun hubungan konstruktif dengan Polres Jayawijaya dan Kodim 1702 Jayawijaya.
Theo itu tipe pemuda gunung yang mudah bergaul dan rendah hati. Selalu menghormati rekan-rekannya dan pandai mengembangkan jaringan. Di Papua dia bekerjasama secara baik dengan LBH Jayapura, KontraS Papua, ALDP, SKP, Foker LSM Papua, dan lain-lain. Di Jakarta dia termasuk aktivis Papua yang paling dipercaya di lingkaran Usman Hamid (KontraS) dan beberapa LSM lainnya. Lebih dari itu, dia juga berhasil membangun jaringan dengan LSM internasional semacam Amnesty International (AI), West Papua Netzwerk (Jerman), PBI, ICRC, dan para diplomat dari kedutaan-kedutaan yang ada di Jakarta terutama AS, Australia, dan negara-negara Uni Eropa.
Kerja kerasnya juga mulai mendapatkan pengakuan dari komunitas internasional. Pada Maret 2009, dia diundang oleh Pemerintah AS untuk melawat ke negeri itu selama tiga minggu. Di sana dia mendapatkan pengalaman berharga bertemu anggota Senat AS, Pejabat Deplu AS, Panglima Angkatan Bersenjata AS, dan sejumlah aktivis LSM internasional. Tidak lama setelah itu, dia mendapatkan kesempatan magang selama enam bulan di Asia Human Rights Commission (AHRC) yang berkantor di Hongkong. Pengalaman-pengalaman ini membuat Theo semakin mampu melihat soal HAM di Papua dalam konteks yang lebih luas.
Banyak orang pikir bahwa Theo yang berani berurusan langsung dengan aparat keamanan di tengah suasana konflik adalah seorang sarjana hukum. Tapi Theo sebenarnya seorang mantan sukarelawan penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang lulus dari SPMA Wamena pada 1992. Yang mungkin berpengaruh adalah pengalamannya sebagai jurnalis koresponden Tabloid JUBI dan Suara Perempuan Papua. Selain itu, dia juga banyak belajar masalah HAM dengan mengikuti berbagai pelatihan, baik di Papua maupun di Jakarta. Theo berani dan gigih, bukan karena pendidikannya, tapi komitmennya untuk membela hak-hak masyarakatnya yang menurutnya selama ini diabaikan.
Kelebihan Theo dibanding sesama Papua asal Pegunungan Tengah adalah bahwa dia memiliki konsistensi dan ketekunan. Prestasi dan pengakuan yang sudah dicapainya tidak membuatnya terlalu cepat merasa paling hebat dibandingkan dengan yang lainnya. Dia selalu mengatakan bahwa dia selalu menghindari percakapan yang menjebaknya pada pernyataan politik. Dia hanya mau berbicara masalah HAM yang sedang ditanganinya. Politik hanya disinggungnya sejauh itu terkait dengan masalah-masalah HAM yang sedang ditanganinya.
“Saya sedih kalau lihat sarjana Papua yang sudah mendapatkan jabatan tapi tidak mau lihat masyarakatnya, atau bahkan orangtuanya, yang sedang mengalami penindasan...” demikian kata Theo. Tanah Papua sungguh membutuhkan lebih banyak lagi generasi muda seperti Theo Hesegem di berbagai bidang lainnya... Nagot wa...wa...wa...